Pengamat Ekonomi Rustam Effendi; Apa yang Akan Dilakukan Negara Demi Menopang Belanja?
Font: Ukuran: - +
Reporter : Baga
DIALEKSIS.COM| Banda Aceh- Apa yang harus dilakukan negara untuk menjamin penerimaan negara demi menopang belanja yang kian bertambah saban tahun?
Pertanyaan yang menarik ini dijawab Dr. Rustam Effendi, S.E., M.Econ, pengamat ekonomi dan dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala. Menurutnya, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka tidak ada pilihan, negara akan melakukan ini untuk rakyatnya.
Negara akan menjadikan sumber perpajakan sebagai sumber kekuatan untuk mengendalikan dan mengerakan perputaran di Bumi Pertiwi. Penerimaan negara terbesar bersumber dari hasil pengelolaan sumberdaya alam, terutama minyak dan gas bumi, akan bergeser ke perpajakan.
Rustam menerakan angka-angka bagaimana pajak menjadi sumber penopang kelangsungkan penghidupan di Bumi Pertiwi, dia mengungah status facebook mengurai soal perjajakan.
“Dalam Rancangan APBN 2025 dicantumkan pendapatan negara sekitar Rp 3.005,1 triliun. Dari total tersebut, sebesar Rp 2.490,9 triliun bersumber dari penerimaan perpajakan, atau hampir 83,0%. Sisanya sebesar Rp 513,6 triliun, atau sekitar 17%, bersumber dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak),” jelasnya.
Menurutnya, semakin dominannya penerimaan negara dari sumber perpajakan, khususnya dalam tahun-tahun terakhir, merupakan hal yang menarik. Sesuatu yang berbeda dibanding masa-masa sebelumnya. Dulu, perpajakan adalah sumber penerimaan pelengkap. Bukan yang utama.
Di negara-negara maju, kontribusi perpajakan sebagai sumber utama penerimaan negara sudah berlangsung lama. Di sejumlah negara di Eropa, misalnya, pajak penghasilan yang dikenakan kepada seseorang hampir setengah dari penghasilan yang diterimanya,” sebut Rustam Effendi.
“Dulu, negara kita belum menaruh peduli soal sumber penerimaan dari sektor perpajakan. Ada sebabnya. Seingat saya, semasa pemerintahan Presiden Soeharto, penerimaan negara terbesar bersumber dari hasil pengelolaan sumberdaya alam, terutama minyak dan gas bumi,” jelasnya.
Pada masa itu, lanjut Rustam, produksi minyak bumi negara kita adalah salah satu yang terbesar di dunia. Negara kita tergabung dalam organisasi OPEC. Masa "oil booming" menjadi berkah yang luar biasa bagi penerimaan negara. Postur RAPBN begitu mudah dirancang, terutama dari sisi pendapatan negara.
“Belanja negara dapat diatur sedemikian rupa. RAPBN saban tahun menganut prinsip berimbang. Artinya, jumlah pendapatan dan belanja negara adalah sama besarannya,” sebutnya.
Saat ini, kata Rustam, kondisi sudah jauh berbeda. Kemampuan penerimaan negara dari PNBP khususnya dari minyak dan gas bumi tak lagi sehebat dulu. Tak dapat lagi sepenuhnya diandalkan. Nilainya sudah jauh berkurang dibanding zamannya pak Harto.
Dalam RAPBN 2025, misalnya, lifting minyak hanya 605 ribu barrel per hari. Lifting gas sekitar 1.005 ribu barrel setara minyak per hari. Jika dipatok harga minyak mentah dunia sebesar US$ 82/barrel, jelas angka penerimaan negara tidak lagi mencukupi.
Apalagi jika dikaitkan dengan kebutuhan belanja pembangunan yang terus meningkat, termasuk beban cicilan utang. Semua itu bukan hal yang ringan dipikul pemerintah kini dan ke depan.
Ketersediaan sumberdaya alam pun kian terbatas, terutama yang tak terbarukan. Di sisi lain, ada kewajiban kita untuk menjaga kelestarian lingkungan alam berikut ekosistimnya. Ruang gerak untuk mengeksploitasi sumberdaya makin berat tantangannya, jelasnya.
“Itu sebabnya. Dapat dipastikan, perpajakan akan menjadi satu-satunya sumber penerimaan negara andalan ke depan. Pemerintah niscaya akan melakukan kebijakan dan langkah-langkah yang makin taktis,” katanya.
Apakah itu melalui ekstensifikasi seperti mencari sumber-sumber penerimaan baru termasuk meluaskan basis pajak? Atau, melalui intensifikasi yang salah satunya dengan giat memburu dan makin mengintensifkan pungutannya?
“Saya yakini, keduanya ini pasti akan diramu untuk dieksekusi oleh pemerintah. Tujuannya satu, untuk menjamin penerimaan negara demi menopang belanja yang kian bertambah saban tahun. Kita lihat saja. Senang atau cemburut. Suka atau tidak. Tak ada pilihan lain,” sebut Rustam.