kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Penetapan Tersangka Kasus Kelebihan Bayar SPPD DPRK Simeulue Dirasa Janggal, Begini Kata Penasehat Hukum

Penetapan Tersangka Kasus Kelebihan Bayar SPPD DPRK Simeulue Dirasa Janggal, Begini Kata Penasehat Hukum

Senin, 25 Juli 2022 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Kasibun Daulay. [Foto: For Dialeksis]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Aceh telah menetapkan enam orang Tersangka dalam kasus temuan kelebihan bayar perjalanan dinas anggota DPRK Simeulue Tahun 2019. 

Berdasarkan rilis yang diterima Dialeksis.com, Senin (25/7/2022), Penetapan tersangka itu diumumkan langsung oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, Bambang Bachtiar, SH MH yang turut didampingi oleh Asisten Tindak Pidana Khusus, R Raharjo Yusuf Wibisono, SH MH pada hari Jum’at (22/7/2022) kemarin bertepatan dengan acara peringatan Hari Bhakti Adyaksa ke-62 di Gedung Kejaksaan Tinggi Aceh. 

Menanggapi hal tersebut, penasehat hukum dari salah seorang tersangka, yaitu tersangka PH, Kasibun Daulay SH & Faisal Qasim SH MH mengungkapkan bahwa proses penetapan kliennya sebagai tersangka agak sedikit janggal, dimana menurutnya hal itu sedikit mengejutkan mengingat kliennya belum pernah sekalipun dimintai keterangan atau dipanggil oleh pihak Kejati Aceh. 

"Penetapan tersangka dugaan penyimpangan penggunaan anggaran perjalanan dinas pada Sekretariat DPRK Simeulue Tahun Anggaran 2019 ini kami anggap masih sangat janggal, karena dalam proses penyidikan, klien kami belum pernah sekalipun diperiksa di Kejaksaan Tinggi Aceh, tapi tiba-tiba langsung diumumkan ke media menjadi tersangka," ungkap Kasibun Daulay. 

Sehingga menurut Kasibun, hal itu sangat mengherankan, karena menurut Ia Surat peritah peyidikan Nomor :  Print- 05/L.1/Fd.1/05/2022 baru dikeluarkan pada tanggal 12 Mei 2022, dan tanpa ada proses pemanggilan & belum dimintai keterangan, kliennya malah dalam waktu cepat sudah dijadikan tersangka. 

"Hal ini sungguh membuat kita heran, lebih-lebih lagi klien kami, ia sangat terkejut. Karena Sprindiknya saja baru diterbitkan bulan Mei, dan tanpa ada pemeriksaan malah sekarang sudah ditetapkan jadi tersangka," ujarnya. 

Oleh karena itu, menurutnya mengingat proses penetapan tersangka terhadap kliennya dianggap ada kejanggalan, maka ia bersama tim penasehat hukum lainnya akan mengkaji kemungkinan untuk mengajukan Pra Pradilan ke-pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Banda Aceh. 

"Karena ini janggal, maka kami akan mengkaji untuk kemungkinan dan peluang kami untuk ajukan pra-peradilan," terang Kasibun. 

Meskipun menurutnya, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) objek Pra peradilan telah dibatasi hanya terkait beberapa hal saja, yang mana terkait sah atau tidaknya proses penetapan tersangka tidak termasuk didalamnya, yaitu sebagaimana diterangkan dalam Pasal 77 KUHAP. Namun dengan adanya yurisprudensi & Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyebutkan bahwa proses penetapan tersangka juga masuk dalam objek pra pradilan, maka pihaknya merasa yakin bahwa proses penetapan tersangka yang ia rasa janggal tersebut layak diuji dihadapan mahkamah pra peradilan. 

"Kami yakin dengan adanya Putusan MK tersebut, perkara ini layak diuji dihadapan mahkamah pra pradilan, hal itu kami kira semata-mata demi memastikan agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana harus memperhatikan posisi tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum, terlebih lagi klien kami ini tokoh publik dan sangat dikenal luas masyarakat, khususnya di Kabupaten Simeulue," ungkap Kasibun Daulay. 

KRONOLGIS TERKAIT OBJEK PENYIDIKAN 

Terkait objek penyidikan dugaan kelebihan bayar surat perjalanan dinas anggota DPRK Simeulue tahun 2019 ini, menurut Kasibun Daulay, itu terjadi karena bukti pertanggungjawaban perjalanan dinas angggota dewan tersebut ada ketidaksesuaian antara bukti print out fisik tiket pesawat yang dimuat dalam dokumen pertanggungjawaban dengan data pemesanan tiket pesawat yang ada dimaskapai penerbangan. Hal itu terjadi karena bendahara DPRK yang menjabat saat itu telah mengganti bukti-bukti fisik tiket itu dengan tiket yang lainnya, dengan dalih untuk menyesuaikan LPJ dengan tanggal keberangkatan.

Terkait hal ini, menurut Kasibun ada pengakuan dari salah seorang anggota DPRK lainnya yang tidak ia sebutkan namanya, bahwa bukti fisik tiket-tiket keberangkatan itu telah diganti oleh oknum bendahara DPRK dalam LPJ-nya. Hal ini sudah diakui langsung oleh oknum bendahara DPRK yang menjabat pada saat itu. 

"Ada pengakuan dari anggota DPRK lainnya bahwa fisik tiket pesawat itu sudah diganti oleh bendahara DPRK pada saat itu, dan si bendahara ini juga mengakui bahwa ia benar telah mengganti fisik tiket itu untuk kepentingan memudahkan membuat LPJ. Tentu saja ini sangat merugikan para tersangka khususnya yang menjabat sebagai anggota DPRK Simeulue," pungkas Kasibun. 

Penasehat Hukum tersangka PH lainnya, Faisal Qasim SH MH juga memberi penjelasan bahwa kasus ini berawal dari adanya kesan seolah-olah anggota dewan tidak serius dan lambat merespon temuan BPK RI. Walaupun menurutnya belakangan dirinya dan tim hukum mendapatkan informasi bahwa diduga ada oknum-oknum tertentu di sekretariat DPRK Simeulue yang mencoba menyembunyikan surat-menyurat khususnya yang berkaitan dengan dokumen LHP dan perintah klarifikasi dari BPK RI. 

"Kami kira ini perlu kita ungkap juga sedikit, bukannya anggota dewan tidak segera melakukan klarifikasi, tapi dugaan kuat kita memang ada oknum yang menyembunyikan surat-surat dan memutus rantai informasi, sehingga dewan tidak mengatahui kapan harus klarifikasi, sampai kapan batas waktunya," pungkas Faisal Qasim. 

Lebih lanjut Faisal Qasim menyebutkan, bahwa pada prinsipnya semua anggota DPRK Simeuleu tahun 2019 yang terlibat dalam perkara ini memiliki itikad baik dan kooperatif untuk menyelesaikan masalah ini, dan hal itu dibuktikan dengan telah dilakukannya pengembalian uang dugaan  kelebihan bayar itu ke kas daerah. Hanya saja, mereka terkejut karena seolah-olah semua perjalanan dinas mereka ditahun 2019 itu fiktif alias tidak dilaksanakan. 

"Pada prinsipnya para anggota dewan yang terkait dengan kasus ini sebarnya sudah beritikad baik, bahwa hampir semua yang dianggap kelebihan bayar itu sudah dikembalikan uangnya ke kas daerah. Walaupun pada saat itu, mereka sempat terkejut juga, karena angka kelebihan bayar yang disebutkan di LHP itu seolah-seolah perjalanan dinas mereka di tahun 2019 itu semuanya fiktif dan tidak dilaksanakan," ucap Faisal. 

Sebagaimana diketahui, dalam temuannya BPK RI Provinsi Aceh memerintahkan kepada Inspektorat kabupaten Simeuleu untuk melakukan verifikasi keabsahan bukti pertanggungjawaban kelebihan bayar biaya perjalanan dinas. Selanjutnya menindaklanjuti hal itu Inspektorat kabupaten Simeuleu melalui suratnya 700.171.1/2020 tanggal 18 September 2020 perihal pelaksanaan verifikasi dan validasi bukti perjalanan dinas luar daerah atas hasil bukti audit BPK RI Provinsi Aceh tahun 2019 ditujukan salah satunya ke Sekretariat DPRK Simeuleu.  

Kemudian surat yang diterima tanggal 5 oktober 2020 oleh Sekretariat DPRK Simeulue tersebut ditindaklanjuti dengan pembagian kuisioner dan mengumpulkan bukti-bukti keabsahan perjalanan dinas pada 2019 yang menjadi temuan lebih bayar sebagaimana hasil audit BPK RI provinsi Aceh tahun 2019. Dan Proses Ini masih berlangsung dan dalam tahap finalisasi di Inspektorat untuk selanjutnya di kirim ke BPK RI Provinsi Aceh. []

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda