kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Pendidikan Politik Terkait Refleksi Pilkada Aceh

Pendidikan Politik Terkait Refleksi Pilkada Aceh

Selasa, 26 November 2024 22:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Rayhan Reza

PII Wati, Nanggroe Institute dan Halaqah Aneuk Bangsa mengadakan kegiatan bertema "Pendidikan Politik: Refleksi Menjelang Pilkada Aceh - Moral, Etika, dan Pemilih Cerdas" pada Minggu (24/11/2024) di Dinsos Aceh. [Foto: for dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dalam rangka menyambut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh 2024, PII Wati, Nanggroe Institute dan Halaqah Aneuk Bangsa mengadakan kegiatan bertema "Pendidikan Politik: Refleksi Menjelang Pilkada Aceh - Moral, Etika, dan Pemilih Cerdas" pada Minggu (24/11/2024) di Dinsos Aceh.

Narasumber yang hadir antara lain Muhammad Zar, SE, Ketua Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat, dan SDM KIP Banda Aceh, Mukhlis Mukhtar, S.H, pengamat politik dan hukum senior, serta Azharul Husna, Koordinator KontraS Aceh.

Selain itu, hadir pula Muhammad Zikri, S.IP, Founder Nanggroe Institut, Husnul Amalia Soleha, Ketua Korps PII Wati Aceh, dan Teuku Alfin Aulia, Founder Halaqah Aneuk Bangsa. Diskusi ini dimoderatori oleh Ladia Septiandini, Kepala Divisi KKP Korps PII Wati Aceh.

Azharul Husna, Koordinator KontraS Aceh, menyampaikan bagaimana sejarah panjang konflik di Aceh yang berdampak besar pada perempuan. Selama masa konflik, banyak perempuan terpaksa mengisi ruang-ruang publik ketika laki-laki pergi atau meninggal. Hal ini kemudian menyebabkan domestifikasi kembali terhadap perempuan saat perdamaian terjadi. 

Lalu, Husna menekankan pentingnya memilih pemimpin yang tidak hanya karena jenis kelaminnya perempuan, tapi juga membawa keadilan dan inklusi bagi kelompok rentan lainnya, seperti penyandang disabilitas, kepala keluarga perempuan, dan minoritas. Menurutnya, perempuan harus dipilih karena memiliki visi, misi, dan track record yang baik, bukan hanya karena identitas gendernya.

Husna juga mempertanyakan apakah ruang publik di Aceh sudah cukup ramah dan aksesibel bagi semua, seperti ketersediaan lift untuk penyandang disabilitas, ruang laktasi untuk ibu menyusui, dan kawasan bebas asap rokok. Menurutnya, pemimpin yang baik harus peka terhadap kebutuhan seluruh kelompok masyarakat.

Selain itu, Husna mendorong agar ada pendidikan politik yang komprehensif, tidak hanya sekedar memenuhi kuota 30% perempuan dalam pencalonan. Ia menekankan pentingnya kaderisasi dan pengembangan kapasitas perempuan agar dapat berkiprah lebih optimal di ranah publik.

Muhammad Zar, sebagai Komisioner KIP Kota Banda Aceh menjelaskan upaya KIP dalam menyosialisasikan aturan, memberikan edukasi pemilih, dan mengkoordinasikan pengawasan selama tahapan Pilkada. Ia menegaskan bahwa KIP sebagai penyelenggara telah berupaya memberikan informasi terkait larangan praktik money politics dan intimidasi politik kepada masyarakat, termasuk pemilih pemula dan pemilih muda.

Muhammad Zar juga mengajak pemuda/i untuk tidak golput dan menggunakan hak pilihnya dengan cerdas, dengan memperhatikan visi-misi dan track record calon. Ia meyakini antusiasme pemilih muda semakin meningkat dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya.

Selain itu, Muhammad Zar menekankan pentingnya ruang publik yang ramah dan aksesibel bagi semua, serta kebijakan yang peka terhadap kebutuhan kelompok rentan. Ia berharap pemimpin yang terpilih nanti dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik dalam hal ini.

Muklis Mukhtar, Pengamat Politik dan Hukum menyoroti berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan Pilkada, seperti intervensi pusat, maraknya money politik, dan kurangnya independensi penyelenggara. Ia menegaskan bahwa Pilkada seharusnya menjadi domain Aceh berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh, bukan dikuasai oleh partai-partai di level nasional.

Muklis juga menyoroti kondisi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Aceh yang masih memprihatinkan, serta besarnya utang luar negeri Indonesia. Menurutnya, hal ini menjadi tantangan besar bagi pemimpin yang akan terpilih nanti.

Selanjutnya, Muklis mendorong pemuda/i untuk terlibat aktif mengawal proses demokrasi dan memperjuangkan hak-hak masyarakat Aceh. Ia menekankan pentingnya ruang-ruang diskusi seperti ini agar isu-isu krusial dapat dibahas secara terbuka.

Founder Nanggroe Institut, Muhammad Zikri, menekankan pentingnya agenda diskusi politik ini untuk membahas dinamika demokrasi di Aceh, khususnya isu-isu yang kerap terabaikan, seperti peran perempuan. Ia mengkritik dominasi laki-laki dalam forum politik dan menyoroti perlunya pendidikan politik bagi perempuan dan pemuda di Aceh. Zikri juga berharap diskusi ini mampu menghilangkan persepsi keliru tentang kepemimpinan perempuan, mengingat Aceh memiliki sejarah panjang terkait hal tersebut, serta mengajak peserta untuk berkontribusi dalam membahas isu-isu aktual.

Husnul Amalia Soleha, Ketua Korps PII Wati Aceh, menyatakan bahwa diskusi dengan tema "Refleksi Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh: Moral, Etika, dan Pemilih Cerdas" diselenggarakan sebagai respons terhadap keresahan publik jelang Pilkada Aceh. Ia menekankan pentingnya membahas demokrasi dan politik dalam forum perempuan, mengingat topik ini jarang dibahas di kalangan mereka. Diskusi ini diharapkan dapat mengurangi persepsi keliru dan menghasilkan pandangan kritis terhadap kebijakan yang ada, serta mengatasi pandangan diskriminatif terhadap pemimpin laki-laki dan perempuan. 

Ketua umum Halaqah Aneuk Bangsa, Teuku Alfin Aulia menyampaikan dalam wawancaranya, kualitas demokrasi masyarakat Aceh dalam rangkaian proses Pilkada serentak saat ini masih sangat rendah. Hal ini diperparah dengan tindakan sepihak yang diambil oleh salah satu massa paslon saat menyangka adanya kecurangan dari paslon lain dalam salah satu debat. Insiden tersebut telah mengubah acara yang seharusnya menjadi ruang adu gagasan menjadi situasi tanpa aturan dan tata tertib.

Ia juga menambah, kegiatan yang seperti ini menjadi kunci untuk mengatasi krisis demokrasi di Aceh untuk terus diselenggarakan.

"Kegiatan semacam ini sangat penting untuk terus dilaksanakan secara rutin dan menjangkau masyarakat lebih luas. Pendidikan politik seperti yang diselenggarakan saat ini, diyakini menjadi kunci utama yang dapat mengatasi krisis demokrasi yang telah melanda Aceh selama beberapa dekade terakhir", ujarnya. [rr]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda