Beranda / Berita / Aceh / Pendekatan Humanis Atasi Masalah Merokok di Pesantren, Bukan Hukuman Fisik

Pendekatan Humanis Atasi Masalah Merokok di Pesantren, Bukan Hukuman Fisik

Jum`at, 04 Oktober 2024 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Direktur Eksekutif Aceh Institute, Muazzinah Yakob. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur Eksekutif Aceh Institute, Muazzinah Yakob mengatakan bahwa penyelesaian masalah rokok di lembaga pendidikan seperti pesantren harus lebih mengedepankan pendekatan edukatif ketimbang hukuman fisik yang berpotensi menciptakan trauma.

“Edukasi adalah kunci. Di lembaga pendidikan agama, kita harus mendidik santri dengan kesadaran penuh tentang bahaya merokok, bukan dengan kekerasan. Jika hanya berfokus pada hukuman fisik, seperti yang terjadi di Aceh Barat, kita malah menimbulkan masalah baru, termasuk trauma psikologis yang mendalam bagi anak-anak,” ujar Muazzinah kepada pewarta Dialeksis.com, Jumat (4/10/2024).

Ia juga memberikan contoh kebijakan di Dayah Insafuddin, Banda Aceh, yang telah menerapkan aturan tegas terkait larangan merokok. 

Namun, Muazzinah menegaskan bahwa penerapan kebijakan tersebut perlu dibarengi dengan pendekatan yang lebih humanis dan bertahap, agar siswa tidak merasa dikucilkan atau dihukum secara tidak adil.

Sebelumnya, sebuah kejadian tragis yang mengguncang Desa Pante Ceureuman, Aceh Barat, memicu kecaman luas dari berbagai kalangan.

Seorang santri berusia 15 tahun dilaporkan mengalami penyiksaan di sebuah pondok pesantren oleh NN (40), pimpinan pesantren tersebut. 

Korban disiram air cabai sebagai bentuk hukuman atas kesalahan yang diduga dilakukan, yakni merokok.

Peristiwa ini tidak hanya mencoreng citra dunia pendidikan agama, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai dampak psikologis yang dialami korban, terutama anak-anak yang terlibat dalam tindakan kekerasan semacam ini. 

Hukuman keras yang dilakukan oleh pelaku dianggap berlebihan, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan Islam yang menekankan kasih sayang dan pendekatan humanis.

Muazzinah dengan tegas mengecam tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh pimpinan pesantren.

Ia menekankan bahwa kekerasan fisik bukanlah solusi dalam menangani pelanggaran, termasuk pelanggaran terkait merokok. 

“Kekerasan hanya akan memperburuk situasi dan menciptakan masalah baru, baik dari sisi psikologis maupun hukum,” ujar Muazzinah. 

Menurutnya, pesantren sebagai lembaga pendidikan agama harus menjadi contoh dalam menerapkan pendekatan yang lebih bijaksana.

"Sebagai institusi pendidikan, pesantren memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter dan moral siswa. Oleh karena itu, tindakan kekerasan yang terjadi di Aceh Barat tidak hanya melanggar prinsip pendidikan, tetapi juga mencederai nilai-nilai Islam,” tambahnya.

Muazzinah juga menyarankan agar lembaga pendidikan, termasuk pesantren, memiliki SOP yang jelas dalam memberikan sanksi, sehingga tidak menimbulkan polemik di kemudian hari.

“Kekerasan fisik bukanlah bentuk disiplin yang efektif. Sebaliknya, pendidikan yang mendalam dan pemahaman tentang bahaya merokok akan lebih bermanfaat bagi para santri,” pungkasnya.

Muazzinah juga menyinggung mengenai kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang telah diberlakukan di berbagai kabupaten/kota di Aceh, namun masih dihadapkan pada sejumlah kendala dalam penerapannya. 

Meskipun sudah ada regulasi yang mengatur, seperti di Aceh Tamiang, Lhokseumawe, dan Pidie Jaya, pelaksanaan di lapangan masih jauh dari sempurna.

“Salah satu tantangan terbesar adalah komitmen dari para pemimpin daerah. Kita masih melihat banyak pejabat yang merokok di tempat kerja, padahal kantor pemerintahan sudah ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok,” jelasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda