Senin, 09 Juni 2025
Beranda / Berita / Aceh / Pendamping Desa: Mitra Rakyat atau Alat Proyek?

Pendamping Desa: Mitra Rakyat atau Alat Proyek?

Minggu, 08 Juni 2025 19:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Fifi Desi Maharani, mahasiswi Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry. Foto: doc pribadi


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketika membayangkan pembangunan desa, sebagian besar dari kita mungkin langsung terbayang pada pembangunan fisik seperti jalan cor beton, posyandu permanen, atau gapura megah. Namun, benarkah esensi pembangunan desa hanya sebatas bangunan dan proyek infrastruktur?

Fifi Desi Maharani, mahasiswi Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh, mengajak publik melihat lebih dalam. Dalam artikelnya yang dimuat di kolom opini Serambi Indonesia berjudul Pendamping Desa atau Alat Proyek?, Fifi menyampaikan kritik tajam tentang bagaimana praktik pendampingan desa di Aceh sering kali kehilangan makna sejatinya.

Menurutnya, pembangunan desa semestinya menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama. “Pembangunan bukan cuma soal bangun jalan atau gedung, tapi juga tentang bagaimana masyarakat bisa terlibat aktif dalam menentukan arah pembangunan,” tulisnya.

Dalam proses pembangunan tersebut, kehadiran pendamping desa sejatinya sangat vital. Mereka adalah jembatan antara masyarakat dengan kebijakan pemerintah. Namun, Fifi mempertanyakan, apakah para pendamping benar-benar hadir sebagai mitra warga? Atau justru sebagai pihak luar yang membawa misi dari atas dan mengatur segalanya?

“Kehadiran pendamping tidak bisa sekadar mengikuti buku panduan dari kementerian. Ia harus hadir sebagai manusia yang bisa mendengar, memahami, dan bekerja bersama warga desa secara setara,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa tugas pendamping desa sebagaimana diatur dalam Permendes No. 3 Tahun 2015 tidak hanya sebatas administrasi. Pendamping harus mampu mendorong kesadaran, partisipasi, serta menjembatani program pembangunan yang berpihak kepada masyarakat.

Sayangnya, realitas di lapangan kerap kali tidak seindah harapan. Fifi menyoroti temuan dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (PMG) Aceh yang sempat menghebohkan: adanya oknum pendamping desa di Aceh Besar yang diduga memungut tarif antara Rp3 hingga Rp3,5 juta untuk menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong (RAPBG). Lebih ironis lagi, proses penyusunan dilakukan secara diam-diam tanpa melibatkan warga desa.

Di Aceh Tenggara, praktik serupa juga ditemukan. Seorang pendamping berinisial MG diduga mengambil alih penyusunan APBDes dan laporan pertanggungjawaban (SPJ), memungut bayaran antara Rp9 hingga Rp15 juta per desa.

“Kalau pendamping justru memonopoli proses dan menjadikannya ladang cuan, maka kita patut bertanya: mereka ini pendamping atau pengendali?” tulis Fifi dengan nada retoris.

Lebih jauh, Fifi menyoroti hubungan yang timpang antara pendamping dan masyarakat. Dalam banyak kasus, relasi ini bersifat vertikal: pendamping dianggap lebih paham dan lebih benar. Padahal, pendekatan semacam ini justru menjauhkan dari semangat partisipatif yang selama ini didengungkan.

“Mereka membawa jargon partisipatif, tapi masyarakat tetap diarahkan mengikuti prosedur dari atas. Proses pembangunan kehilangan ruhnya,” jelas Fifi.

Ia mengingatkan bahwa pemberdayaan sejati tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Paulo Freire tentang pentingnya conscientization, atau kesadaran kritis. Pendamping desa harus menjadi fasilitator perubahan sosial, bukan sekadar teknokrat proyek.

Fenomena penyimpangan peran pendamping desa, menurut Fifi, bukan semata soal kesalahan oknum, melainkan mencerminkan persoalan sistemik yang lebih dalam. Banyak pendamping terjebak dalam tekanan laporan, tenggat waktu, dan target administratif yang menyita perhatian mereka dari kerja-kerja sosial yang bermakna.

“Wajar kalau mereka lebih fokus ke urusan kertas ketimbang benar-benar turun ke lapangan. Tapi, ini jadi masalah serius,” katanya.

Atas dasar itu, Fifi mendesak pemerintah melalui kementerian dan dinas terkait untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem rekrutmen, pelatihan, dan pengawasan terhadap para pendamping desa. Ia menekankan pentingnya membekali pendamping dengan kepekaan sosial, pemahaman budaya lokal, serta etika kerja yang kuat.

Tak kalah penting, menurutnya, masyarakat juga perlu diberi ruang untuk ikut mengawasi. “Supaya pendamping tidak merasa lebih tinggi atau lebih pintar dari masyarakat yang mereka dampingi,” ujarnya.

Ia bahkan mengusulkan ruang belajar bersama antara pendamping, tokoh adat, pemuda, dan perangkat gampong sebagai bagian dari pembenahan pendekatan.

Pada akhirnya, Fifi kembali menekankan bahwa pembangunan desa idealnya menjadi ruang pembebasan. “Desa seharusnya jadi ruang bagi warganya untuk tumbuh jadi masyarakat yang mandiri, kritis, dan punya daya tawar.”

Di titik inilah, pendamping desa seharusnya hadir bukan untuk mengambil alih, tapi memperkuat proses dari dalam. Bukan hadir hanya saat dana turun, lalu menghilang ketika warga butuh dukungan nyata.

“Kalau kita benar-benar ingin desa yang kuat dan berdaulat, maka pendamping harus hadir sebagai teman seperjalanan, bukan sebagai ‘bos halus’ yang cuma ganti gaya tapi tetap mengatur,” tegasnya.

Fifi menutup refleksinya dengan satu pertanyaan mendasar,“Jadi, pendamping desa itu mitra pemberdayaan atau hanya alat proyek?” Pertanyaan yang, menurutnya, masih butuh jawaban nyata di banyak sudut desa - desa Aceh.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI