Penanganan Covid-19 di Aceh, Peneliti JSI: Masyarakat Minta Pemerintah Harus Tegas
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Masyarakat menyampaikan, Pemerintah Aceh harus mengambil langkah yang tegas untuk penangan virus corona.
Masyarakat menilai pembatasan keluar rumah salah satu cara yang tepat memutuskan rantai penyebaran wabah virus corona yang bisa mematikan itu.
Hal ini terungkap hasil dari penelitian yang dlakukan oleh tim Jaringan Survei Inisiatif (JSI) tentang persepsi masyarakat Aceh terhadap usulan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Penelitian yang dilakukan pada 20-26 April tersebut bertujuan agar bisa memberikan sejumlah gambaran pertimbangan kepada pemangku kebijakan untuk mengambil langkah teknis terkait penanganan pandemi Covid-19 di Propinsi Aceh.
“Wacana penutupan lingkungan pemukiman dan pembatasan kegiatan diluar rumah lewat PSBB, 61.39% masyarakat Aceh menyatakan setuju dengan kemungkinan tersebut,” kata Nasrul Rizal Peneliti JSI Aceh, Rabu (29/4/2020) di Banda Aceh.
Lebih lanjut Nasrul Rizal menyebutkan, 27.80% masyarakat menyatakan tidak setuju dengan penerapan PSBB, dan sisanya 10.81% menyatakan netral.
Hasil penelitian ini juga terungkap kata Nasrul Rizal, bagi pekerja di sektor formal, pembatasan keluar rumah dengan melakukan Work From Home (WFH) menilai positif, karena mereka yang selama ini berjibaku dengan jam kantor akhirnya mempunyai waktu lebih bersama keluarga.
Sementara bagi tenaga kerja nonformal, bekerja di rumah pilihan yang sangat sulit, pasalnya mereka menggantungkan nafkah di luar rumah.
“Nah pemerintah perlu mencari jalan keluar agar penghentian kegiatan di luar rumah tidak menjadi “simalakama”, keluar rumah mati karena corona, di dalam rumah mati karena kelaparan,” ujar Nasrul Rizal.
Terkait soal ibadah selama bulan Ramadan saat pandemi Covid-19 ini tetap harus di masjid tidak boleh dilarang. Sebanyak 46.72% masyarakat yang tidak setuju dengan imbauan penghentian kegiatan peribadatan di luar rumah, hanya 34.36% masyarakat setuju beribadah bersama keluarga di rumah,18,92% yang menyatakan cukup beribadah di rumah saja.
“Respon ini bisa dimaklumi karena karakter masyarakat Aceh yang sudah terbentuk dan terikat dengan nilai-nilai syariat, di mana menunaikan salat di masjid memang dinilai lebih utama. Asalkan jamaah tetap bisa salat di masjid dengan menjalankan protokol pencegahan Covid-19 seperti mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, dan menjaga jarak sepertinya ibadah di masjid masih mungkin dilakukan, karena Aceh saat ini belum masuk zona merah, dan belum ada laporan bahwa seseorang tertular virus corona karena pulang dari masjid,” tambah Nasrul Rijal.
Lebih lanjut kata Nasrul, ketika ditanya seberapa besar tingkat kepatuhan mereka untuk mentaati berbagai macam kemungkinan kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah dalam menanggulangi bencana Covid-19, maka hampir seluruhnya menyatakan bahwa mereka adalah masyarakat yang taat (90,73%) kepada pemimpin. Kemudian hanya sedikit (3,09) yang mengidentifikasi diri untuk tidak patuh, lalu sisanya (6,18%) menyatakan netral.
Saat ditanya kapabilitas pemerintah pada level dalam mengendalikan wabah virus corona, maka penilaian yang diberikan oleh masyarakat Aceh ikut berbeda-beda. Tingkat kepercayaan terhadap Pemerintah Pusat hanya 46,33%, dan jumlah yang tidak percaya ternyata lumayan tinggi yaitu 30,88%, lalu sisanya (22,78%) menyatakan netral.
Sementara itu kata Narsul Rizal tingkat kepercayaan kinerja Pemerintah Provinsi ternyata sedikit lebih tinggi (56,38%), dan hanya sedikit yang menaruh rasa pesimistis(19,69%), lalu sisanya menyatakan ragu-ragu atau netral (23,94%).
“Lebih tingginya tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah daerah dibandingkan dengan pemerintah pusat bisa dimaklumi apabila dinilai dari langkah antisipatif awal yang pernah mereka lakukan. Pemerintah pusat terkesan lambat dalam bereaksi, bisa dilihat diawal-awal kemunculan pandemi ini pemerintah pusat malah menganggap remeh dengan menyatakan Indonesia aman dari bahaya corona, bukannya menuntup bandara namun malah gencar promosi wisata,” katanya.
Berbeda dengan Pemerintah Aceh yang sigap mengambil langkah sejak pertengahan Maret lalu ketika Aceh masih nol kasus, pemerintah tidak menunggu ada korban positif baru mengambil langkah antisipatif. Pemerintah Aceh langsung mengeluarkan surat edaran untuk menghentikan segala aktivitas yang mengumpulkan orang banyak. Maka oleh karena itu tidak mengherankan apabila melihat masyarakat lebih banyak memberikan reaksi positif terhadap pemerintah daerah daripada pemerintah pusat.
Pandemi corona semakin hari semakin ganas menyebar ke seluruh pelosok dunia dan saat ini penyebarannya belum bisa dihentikan, belum ada yang bisa memberikan garansi pasien yang telah sembuh tidak terkena lagi.
“ini artinya corona masih di sekitar kita, siap menular kepada siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Maka pemerintah wajib mengatur kembali strategi untuk pencegahan penyebaran pandemi ini demi meyelamatkan warga,” ujat Nasrul Rizal.
“Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sepertinya bisa menjadi salah satu alternatif kebijakan yang bisa dijalankan oleh Pemerintah Aceh. Tingkat kabupaten/kota menyatakan sudah siap untuk mengadopsi PSBB ini, begitu juga masyarakat yang mayoritas nampaknya sudah siap untuk menjalankan PSBB tersebut, jadi tinggal persetujuan dari Pemerintah Pusat saja. Oleh karena itu, solusi jangka pendek ini bisa dilakukan oleh pemerintah untuk meredam penyebaran Covid-19 dinilai sudah sangat mengkhawatirkan,” pungkas Nasrul Rizal.(ZU)