Minggu, 20 Juli 2025
Beranda / Berita / Aceh / Pemuda Pidie Kecam Pemolisian Mahasiswa UNIGHA Usai Aksi Damai

Pemuda Pidie Kecam Pemolisian Mahasiswa UNIGHA Usai Aksi Damai

Minggu, 20 Juli 2025 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Tokoh muda Pidie, Raunal Mahfud. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Sigli - Universitas Jabal Ghafur (UNIGHA) Pidie kembali menjadi sorotan publik usai dua orang mahasiswa kampus tersebut dilaporkan ke pihak kepolisian karena menggelar aksi unjuk rasa damai pada 16 Mei 2025.

 Aksi yang semula ditujukan sebagai bentuk kritik terhadap dugaan ketertutupan pengelolaan keuangan kampus, kini berujung pada persoalan hukum.

Menanggapi situasi ini, salah satu tokoh muda Pidie, Raunal Mahfud, mengecam langkah pelaporan yang dilakukan oleh salah satu staf kampus terhadap dua mahasiswa tersebut, yang justru telah melaksanakan aksi secara damai dan tertib.

“Saya sangat menyayangkan tindakan pelaporan ini. Seharusnya masalah ini diselesaikan terlebih dahulu secara internal oleh pihak kampus, bukan langsung dibawa ke ranah hukum,” ujar Raunal Mahfud kepada Dialeksis.com, Minggu (20/7/2025).

Menurut Raunal, tindakan mahasiswa UNIGHA yang menyuarakan aspirasi dan keresahan mereka adalah bagian sah dari kehidupan akademik. Unjuk rasa, kata dia, merupakan ekspresi demokratis yang dilindungi oleh konstitusi, terlebih bila dilakukan secara damai tanpa kekerasan.

“Mahasiswa menyampaikan aspirasi karena mereka peduli terhadap masa depan kampus. Kalau responnya adalah pemolisian, ini bisa menjadi preseden buruk dan menekan ruang demokrasi di lingkungan akademik,” lanjut Raunal.

Ia menilai, langkah hukum terhadap mahasiswa hanya akan menciptakan ketakutan dan membungkam nalar kritis di kalangan generasi muda kampus.

Padahal, sejarah membuktikan bahwa banyak perubahan besar dalam dunia pendidikan lahir dari keberanian mahasiswa bersuara. Jika ruang ini dipersempit, maka yang hilang bukan hanya kritik, tetapi juga harapan.

Raunal juga menyerukan agar Rektorat UNIGHA bersikap lebih bijak. Menurutnya, keterbukaan informasi dan penyelesaian masalah melalui dialog seharusnya menjadi prioritas, bukan justru memperburuk situasi dengan kriminalisasi.

“Kampus itu tempat mendidik nalar, bukan tempat membentuk ketakutan. Kalau mahasiswa menyampaikan kritik, tanggapi dengan ruang dialog, bukan laporan polisi. Jika kampus tidak bisa mengayomi aspirasi mahasiswa, lalu ke mana lagi mereka harus bicara?” katanya.

Raunal mengatakan bahwa persoalan ini menjadi refleksi serius tentang posisi mahasiswa dalam ekosistem kampus. Ia mengingatkan bahwa setiap institusi pendidikan wajib menjamin dan memfasilitasi hak kebebasan berekspresi bagi mahasiswa.

“Kalau mahasiswa dibungkam saat menyampaikan kebenaran, maka yang akan lahir adalah generasi yang apatis dan takut bersuara. Itu sangat bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan,” pungkasnya.

Sebelumnya, dua mahasiswa Unigha, masing-masing Muhammad Pria I Ghazi (koordinator aksi) dan Mirzatul Akmal (peserta aksi), dilaporkan IO polisi oleh seorang staf kampus bernama Ismail.

Keduanya dilaporkan atas dugaan penganiayaan yang terjadi saat aksi unjuk rasa pada 16 Mei 2025 lalu di lingkungan kampus.

Saat ini, kasus tersebut masih ditangani oleh Satuan Reserse Kriminal Polres Pidie. Polisi masih dalam tahap memintai keterangan dari pihak-pihak terkait.

Sementara itu, hingga berita ini diterbitkan, pihak kampus UNIGHA belum memberikan keterangan resmi terkait motif pelaporan tersebut dan apakah upaya mediasi telah dilakukan sebelum persoalan ini dibawa ke kepolisian. [nh]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI