kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Pemetaan Masjid Rawan Picu Terjadinya Konflik

Pemetaan Masjid Rawan Picu Terjadinya Konflik

Rabu, 02 Februari 2022 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Ilustrasi. [Foto: ANTARA/Iggoy el Fitra]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam) Polri berencana memetakan masjid di Indonesia untuk mencegah penyebaran paham terorisme.

Polisi bakal memberikan warna dan kategori pada sejumlah masjid. Meski belum dijelaskan lebih lanjut mengenai kategorisasi ini, terdapat beberapa masjid yang sudah dicap 'keras'.

Direktur Keamanan Negara Baintelkam Polri Brigjen Umar Effendi yang mengungkap rencana tersebut dihadapan sejumlah petinggi Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengikuti agenda Halaqah Kebangsaan Optimalisasi Islam Wasathiyah dalam Mencegah Ekstremisme dan Terorisme pada Rabu (26/1/2022) lalu.

"Kemarin kami juga sepakat dalam diskusi mapping masjid, pak. Mohon maaf," kata Umar.

Rencana tersebut menuai polemik. Pemetaan oleh kepolisian ini dinilai bisa memicu kesalahpahaman hingga kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Kepolisian pun bisa dianggap diskriminatif karena hanya menyasar tempat ibadah umat Islam.

Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani menyebut rencana kepolisian tersebut berpotensi kontraproduktif dengan upaya-upaya pencegahan radikalisme yang sudah berjalan beberapa tahun terakhir ini. Ismail yakin bakal muncul penolakan dari masyarakat.

Ismail mengatakan pemberian label atau stigma terhadap suatu komunitas tertentu yang menetap disuatu tempat dapat menimbulkan konflik. Menurutnya, upaya yang hendak dilakukan oleh kepolisian secara terbuka itu akan menjadi berbahaya.

Ismail berpendapat menangangi tindak pidana terorisme di Indonesia bisa dimulai dari hulu. Menurutnya, pemerintah harus sumber transmisi pengetahuan keagamaan yang mendukung gagasan terorisme.

Dengan demikian, kata Ismail, pemerintah bisa membendung penyebaran konten-konten keagamaan melalui medium tersebut.

Ismail menyebut saat ini banyak tersebar narasi-narasi intoleran di lingkungan masyarakat. Ia mencontohkan kasus intoleran yang justru difasilitasi oleh pemerintah daerah setempat, yakni di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.

Di sana, kelompok warga menolah jemaat Ahmadiyah yang dicap sesat dan menyimpang.

Alih-alih mencari jalan keluar, kata Ismail, pemerintah daerah setempat malah melegitimasi penolakan dan sikap-sikap intoleran dalam menyikapi ajaran tersebut. Menurutnya, sikap-sikap ini lah yang menjadi hulu dari terorisme.

SETARA Institute sebagai lembaga swadaya yang banyak mengadvokasi kasus-kasus kekerasan beragama pun menilai bahwa sikap intoleransi tersebut akan berbahaya jika dipelihara. Apalagi, kata dia, alat negara turut berpartisipasi dalam melakukan penolakan.

Menurutnya penanganan kasus-kasus intoleran tersebut menjadi penting untuk dilakukan oleh pemangku kepentingan di tingkat pemerintah pusat.

Secara terpisah, Pengamat Intelijen dan Terorisme Universitas Indonesia (UI) Stanislaus Riyanta berpendapat seharusnya kepolisian tak secara terang-terangan hendak melakukan pemetaan terkait penyebaran terorisme secara khusus di masjid.

Dirinya mengatakan, melakukan pemetaan itu wajar, yang penting caranya. Tidak harus show of force, karena bisa muncul resistensi.

Stanislaus mengatakan data-data intelijen yang dikumpulkan kepolisian itu memang berguna untuk deteksi dini dan pencegahan terhadap ancaman radikalisme ataupun terorisme di Indonesia.

Menurutnya, negara berhak hadir dalam mengantisipasi potensi ancaman yang timbul. Namun, kata Stanislaus, upaya tersebut sebaiknya dilakukan dengan cara yang tidak menimbulkan masalah baru.

Stanislaus mendorong agar Korps Bhayangkara lebih menguatkan peran-peran dari pihak di luar pemerintahan untuk melakukan penangkalan paham terorisme maupun radikalisme.

Dalam hal ini, Polri, kata Stanislaus, seharusnya, dapat mulai bergerak menjalin hubungan dan kolaborasi dengan sejumlah elemen masyarakat sipil, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat, hingga organisasi masyarakat (Ormas) untuk menciptakan kesadaran kolektif terkait bahaya terorisme.

Menurutnya, aparat akan mendapat porsi yang lebih banyak untuk bergerak ketika sudah muncul tindakan pelanggaran hukum yang membahayakan.

Sementara itu, di sisi lain, Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jusuf Kalla (JK) mengkritik rencana Polri memetakan masjid dalam upaya mencegah penyebaran terorisme. JK mengatakan tak pernah ada upaya mengacau negara lewat masjid. (CNN Ind)

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda