Pemerintah Diminta Jaminan Penyelamatan Pengungsi Rohingya Masuk Perairan Indonesia
Font: Ukuran: - +
Foto: BBC
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna meminta pemerintah Indonesia untuk menjamin upaya penyelamatan pengungsi Rohingya yang masuk perairan Indonesia. Selain itu, dia mendesak pemerintah Indonesia untuk menghargai hak-hak pengungsi berdasarkan hukum baik lokal, nasional dan internasional.
"Desakan ini dilandasi dari tindakan Pemerintah Kota Lhokseumawe dan TNI AL yang mencegah masuknya pengungsi etnis Rohingya ke perairan Indonesia," kata Azharul Husna dalam keterangan tertulis, Kamis (26/10/2023).
Selain itu, Azharul Husna juga menyoroti kebijakan TNI AL dan Pemerintah Kota (Pemkot) Lhokseumawe melakukan patroli terpadu pada 19 Oktober 2023. Bahkan menurutnya, patroli terpadu tersebut diduga dilakukan untuk menyikapi kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh sebanyak 36 orang di perairan Bireuen pada 16 Oktober 2023.
Azharul Husna juga mengatakan Perpres Nomor 125 tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, telah mengatur mekanisme perlindungan dan penanganan pengungsi yang teridentifikasi di wilayah Indonesia.
"Perpres ini memberikan semangat adanya penerimaan negara untuk adanya akses untuk mencari dan mendapatkan suaka sebagai sebuah bentuk perlindungan," ujarnya.
Begitu juga, kata Nana, tidak ada ketentuan dalam Perpres ini untuk adanya penghalangan atau pencegahan pengungsi untuk masuk ke wilayah Indonesia.
"Keputusan yang diambil pemkot dan TNI AL sangat kami sayangkan karena tidak menghargai hak manusia dalam mencari suaka dan bertentangan dengan Perpres nomor 125 tahun 2016," ujar Nana.
Nana juga menyebutkan, tindakan tersebut juga bertentangan dengan kaidah hukum dan prinsip-prinsip kemanusiaan yang selama ini diimplementasikan dalam penerimaan kedatangan pengungsi Rohingya.
Menurut Nana ada beberapa hukum yang mengatur tentang penanganan pengungsi yang telah diakui dunia internasional yakni pertama, hukum internasional melalui pasal 98 ayat (1) The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
Kedua, pada bab dua annex International Convention on Maritime and Search Rescue (Konvensi SAR) khususnya pada paragraf 2.1.1 di mana negara memiliki kewajiban untuk membuat mekanisme penyelamatan dan segera memberikan bantuan kepada kapal yang sedang dalam keadaan darurat.
"Penting untuk dicatat bahwa Indonesia telah meratifikasi dan mengesahkan kedua konvensi ini, sehingga kewajiban negara terhadap isi-isi konvensi ini mengikat secara hukum," ujarnya
Nana menambahkan, masyarakat dan nelayan Aceh telah lama mengakui adanya hukum adat untuk memberikan pertolongan bagi siapapun yang mengalami keadaan darurat di laut.
"Sehingga, operasi pengamanan dan pencegahan kedatangan pengungsi Rohingya bukan hanya tidak sesuai dengan hukum internasional, namun juga dengan kaidah-kaidah adat laut yang telah ada sejak dahulu serta eksis hingga kini," pungkas Nana.