kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Pemerintah Aceh Dinilai Belum Serius Benahi SDM di Faskes

Pemerintah Aceh Dinilai Belum Serius Benahi SDM di Faskes

Kamis, 10 Februari 2022 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : fatur

Ketua PD Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Aceh, Apt. Tedy Kurniawan Bakri, M.Farm. [Foto: Istimewa]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kebutuhan tenaga Apoteker di Aceh masih menjadi satu perhatian khusus, sebagian besar fasilitas kesehatan (Faskes) di Aceh masih belum sepenuhnya diisi oleh seorang Apoteker.

Hal ini diungkapkan oleh Ketua PD Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Aceh, Apt. Tedy Kurniawan Bakri, M.Farm kepada Dialeksis.com, Rabu (9/2/2022).

Dirinya mengungkapkan, bahwa Apoteker sebagai salah satu tenaga kesehatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan memiliki peran yang sangat penting dalam rangkaian layanan pengobatan di fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit dan Puskesmas.

“Didalam Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 108 dan PP No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian sudah disebutkan bahwa praktik kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai ketentuan perundang-undangan, yaitu Apoteker,” ucapnya.

Kemudian, Tedy menjelaskan, pelayanan kefarmasian di puskesmas dan rumah sakit dibagi menjadi dua, yaitu pertama, mengelola kesediaan farmasi, alat Kesehatan dan bahan medis habis pakai, seperti memilih jenis obat, membuat perencanaan, pengadaan, penyimpanan hingga pendokumentasian dan administrasinya,” sebutnya.

“Kedua, pelayanan farmasi klinis di mulai dari pengkajian resep agar tepat untuk pasien, pemberian informasi obat, konsultasi terkait obat (konseling), visite pasien, pemantauan efek samping obat, pemantauan terapi obat hingga evaluasi penggunaan obat,” sambungnya.

“Kemudian, peran apoteker, akan tetapi, apoteker yang sebagai tenaga kesehatan profesional di bidang obat-obatan seakan tidak di hiraukan oleh pemerintah, dan untuk apoteker di rumah sakit, seharusnya jumlah apotekernya di tentukan dengan cara membandingkan jumlah tempat tidur dan layanan yang di lakukan di rumah sakit,” tambahnya.

Sambungnya, Hal ini tercermin dari masih sangat banyaknya puskesmas yang saat ini belum memiliki apoteker di Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh. Tedy menyebutkan, hal yang sama juga terjadi di Rumah Sakit, dimana masih adanya rumah sakit yang hanya memiliki 1 orang tenaga apoteker untuk mengelola pekerjaan kefarmasian di rumah sakit yang tentu tidak mampu dikerjakan bahkan oleh 5 apoteker untuk sebuah rumah sakit.

Sejauh ini, kata tedy, Puskesmas di Provinsi Aceh selama ini mengandalkan profesi kesehatan lainnya untuk berperan sebagai apoteker dalam mengelola obat-obatan, hanya beberapa yang memiliki tenaga teknis kefarmasian yang perannya juga tidak dapat disamakan dengan apoteker.

Meski di tahun 2021 penerimaan tenaga apoteker di puskesmas mulai bermunculan, namun belum merata di semua kabupaten/kota.

Oleh karena itu, Tedy mengharapkan, pemerintah Aceh termasuk didalamnya pemerintah kabupaten dan kota masih belum serius membenahi SDM khususnya Apoteker di fasilitas Kesehatan, maka bagaimana mungkin masyarakat akan medapatkan layanan kesehatan yang prima, SDM-nya saja tidak tersedia.

“Apoteker sebagai tenaga kefarmasian tidak dapat tergantikan perannya oleh siapapun termasuk oleh tenaga teknis kefarmasian yang merupakan lulusan Diploma Tiga atau Sarjana Farmasi, dikarenakan kompetensi Apoteker jauh berbeda dengan tenaga teknis kefarmasian tersebut,” jelasnya.

Kemudian, hal ini juga tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 74 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas dimana disebutkan Kepala Unit Kefarmasian di Puskesmas harus seorang Apoteker, bila puskesmas yang hanya memiliki tenaga teknis kefarmasian maka hanya dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat terbatas.

Oleh karenanya, dengan kondisi Puskesmas di Aceh saat ini, sangat disayangkan akan berdampak pada kualitas layanan kefarmasian di puskesmas begitu juga di rumah sakit dengan jumlah apoteker yang belum sesuai dengan beban kerja yang harus dilakukan.

Dikarenakan, kata Tedy, Hal ini akan mempengaruhi kualitas pelayanan kepada masyarakat, dimulai dari kualitas dalam pelayanan resep dimana diperlukan seorang apoteker yang mampu memeriksa ketepatan dosis obat, jenis obat dan hal lainnya terkait obat yang digunakan serta menganalisis resiko efek samping yang mungkin terjadi, dan berbagai hal lainnya.

“Selain itu peran apoteker dalam menyusun perencanaan kebutuhan obat hingga penyimpanan obat agar tidak mengalami kerusakan atau kedaluwarsa obat hal ini untuk mengefektifkan dana pemerintah sehingga dapat di optimalkan untuk kegiatan lainnya,” tambahnya.

Kemudian, dan yang paling penting, kata Tedy, dengan tidak adanya apoteker maka masyarakat tidak akan mendapatkan berbagai edukasi terkait obat, konsultasi terkait obat, hingga monitoring efek obat yang timbul setelah mengkonsumsi obat tersebut.

“Sungguh sangat disayangkan karena hal ini menunjukkan bahwa pemerintah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota belum sungguh-sungguh memperhatikan kualitas kesehatan masyarakatnya khususnya terkait pengunaan obat-obatan,” ungkapnya.

“Diharapkan pada tahun 2022 ini, Pemerintah tergerak hatinya untuk membuat pemetaan kebutuhan Apoteker di Puskesmas, setidaknya dibutuhkan 2 orang apoteker di setiap Puskesmas untuk Puskesmas yang hanya melayani pasien rawat jalan. Dan juga diharapkan selanjutnya mengusulkan penerimaan melalui jalur penerimaan ASN maupun jalur perjanjian kerja (PPPK) mulai tahun 2022 ini, dan juga serta meninjau kembali beban kerja apoteker di Rumah Sakit sehingga jumlah apoteker sesuai dengan beban kerja yang dilakukan.

Dalam hal ini juga, tambah Tedy, Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Provinsi Aceh siap berkolaborasi menyediakan SDM Apoteker untuk ditempatkan dimanapun di Provinsi Aceh. [ftr]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda