Beranda / Berita / Aceh / Pembukaan Lahan di Gambut Tripa Berlanjut, Ratusan Hektar Hutan Hilang

Pembukaan Lahan di Gambut Tripa Berlanjut, Ratusan Hektar Hutan Hilang

Jum`at, 09 Agustus 2024 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

8.000 hektar konsesi HGU kelapa sawit berada dalam kawasan lindung gambut Tripa. [Foto: dok. APEL Green Aceh]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kawasan lindung gambut Tripa di Nagan Raya, Aceh kembali menjadi sorotan setelah hasil investigasi terbaru dari Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh (KSLHA) mengungkapkan adanya aktivitas pembukaan lahan secara ilegal di kawasan tersebut. 

Investigasi tersebut menemukan bahwa ratusan hektar tutupan hutan telah hilang, yang berpotensi membahayakan ekosistem unik di wilayah tersebut, termasuk habitat kritis bagi satwa langka seperti orangutan dan harimau Sumatra.

Rahmat Syukur, Direktur Eksekutif Yayasan APEL Green Aceh, salah satu organisasi yang tergabung dalam KSLHA mengatakan bahwa Kawasan gambut Tripa, yang merupakan bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), dikenal sebagai salah satu lahan basah paling penting di Indonesia. 

Ekosistem ini tidak hanya berperan penting dalam menjaga keseimbangan iklim global melalui penyimpanan karbon, tetapi juga menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati yang luar biasa. 

Namun, meski memiliki nilai ekologi yang sangat tinggi, kawasan ini terus menjadi target perambahan lahan yang masif, utamanya untuk kepentingan industri kelapa sawit.

"Ini menjadi ancaman Baru bagi Ekosistem Leuser," kata Rahmat Syukur kepada Dialeksis.com, Jumat 9 Agustus 2024.

Ia menyebutkan bahwa dalam laporan yang disampaikan oleh KSLHA, disebutkan bahwa aktivitas deforestasi di kawasan gambut Tripa kini terjadi secara terang-terangan. 

Excavator dan bulldozer dilaporkan sedang meratakan hutan gambut, menghancurkan habitat alami yang sudah terancam. 

Aktivitas ini dianggap sebagai ancaman serius terhadap kelangsungan hidup satwa-satwa langka yang bergantung pada hutan gambut ini, termasuk orangutan Sumatra yang populasinya terus menurun.

Sebagian besar kawasan lindung gambut seluas 11.380,71 hektar saat ini berada di bawah kendali perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit melalui Hak Guna Usaha (HGU). 

Dari total lahan tersebut, PT. Surya Panen Subur (SPS) 2 menguasai area seluas 7.565,26 hektar, menjadikannya sebagai pemegang HGU terbesar di kawasan tersebut. 

Selain itu, PT. Kallista Alam (KA) juga menguasai 520,78 hektar lahan di area yang sama. 

Secara keseluruhan, HGU yang berada dalam kawasan lindung gambut mencapai luas 8.086,04 hektar, menimbulkan kekhawatiran atas keberlanjutan ekosistem vital ini.

"Ini sangat tragis. Kubah gambut di rawa Tripa seharusnya mendapatkan perlindungan ketat, terutama karena sebagian besar wilayah ini telah hancur oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit dalam dekade terakhir," ungkap Rahmat Syukur.

Ia mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan kelapa sawit menjadi sorotan utama dalam penghancuran hutan gambut Tripa. Salah satu yang paling mencolok adalah PT Kallista Alam, sebuah perusahaan yang telah lama dikenal dalam kontroversi lingkungan. 

Pada tahun 2012, Kallista Alam terbukti membakar 1.000 hektar hutan gambut Tripa, yang mengakibatkan kerugian besar bagi ekosistem dan satwa liar, termasuk kematian ribuan orangutan.

Meskipun telah dijatuhi hukuman denda besar akibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) tersebut, Kallista Alam hingga kini belum sepenuhnya memenuhi kewajiban hukum, termasuk pemulihan lahan yang rusak. Parahnya, perusahaan ini dilaporkan masih aktif dalam kegiatan yang merusak lingkungan di kawasan tersebut.

“Jika perambahan hutan rawa gambut semakin merajalela dan tidak ada tindakan oleh aparat penegak hukum, maka satwa lindung di Rawa Tripa semakin terancam punah,” tegas Rahmat Syukur.

Melihat situasi yang semakin memburuk, Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh (KSLHA) menyerukan tindakan segera dari pihak berwenang. Seruan tersebut ditujukan kepada Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kapolda Aceh, dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh.

Dalam seruannya, KSLHA menuntut penghentian Aktivitas Perambahan. Aktivitas ilegal dalam kawasan lindung gambut Tripa harus segera dihentikan. Setiap tindakan perambahan yang melanggar hukum perlu ditindak tegas oleh aparat penegak hukum.

Selain itu, kata Rahmat Syukur, pembebasan Hak Guna Usaha (HGU). HGU yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan seperti PT Surya Panen Subur (SPS 2) dan PT Kallista Alam yang masuk dalam kawasan lindung gambut Tripa harus segera dicabut. Tanpa langkah ini, upaya perlindungan kawasan tersebut akan sia-sia.

Rahmat Syukur, Direktur Eksekutif Yayasan APEL Green Aceh. [Foto: dok. untuk dialeksis.com]

KSLHA mendesak agar kawasan lindung gambut Tripa segera ditetapkan dalam rencana tata ruang yang melindungi ekosistem ini dari ancaman konversi lahan lebih lanjut.

Kawasan gambut Tripa tidak hanya berharga bagi keanekaragaman hayati dan iklim global, tetapi juga bagi kesejahteraan masyarakat setempat.

Keberlanjutan ekosistem ini adalah kunci untuk menjaga keseimbangan lingkungan yang mendukung kehidupan di Aceh dan sekitarnya. Namun, tanpa komitmen nyata dari semua pihak, harapan untuk menyelamatkan Tripa dan satwa-satwa yang bergantung padanya semakin menipis.

“Penghancuran harus segera dihentikan! Ini bukan hanya tentang lingkungan, tetapi tentang masa depan kita bersama,” pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

kip
riset-JSI
Komentar Anda