Beranda / Berita / Aceh / Pembangunan Ekonomi Masyarakat Aceh Perlu Perencanaan yang Matang

Pembangunan Ekonomi Masyarakat Aceh Perlu Perencanaan yang Matang

Jum`at, 17 Desember 2021 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Auliana Rizky

[Foto: Ist] 

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sehubungan dengan telah diselenggarakannya kegiatan yang bertema "Refleksi Kinerja Pembangunan Ekonomi Masyarakat Aceh Akhir Tahun 2021" yang dilaksanakan hari Jum'at (17/12/2021) pukul 09.00 - 11.30 di Elpe Kupi Lampineng, Banda Aceh. 

Kegiatan ini dihadiri oleh Prof. Dr. Yusni Sabi, Tokoh Aceh dan Mantan Rektor UIN Ar Raniry, Dr. Amri, S.E., M.Si, Pengamat Ekonomi dan Dosen FEB USK, dan Kurniawan S, S.H., LL.M, Akademisi Hukum Universitas Syiah Kuala dan juga Direktur Eksekutif Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Aceh (P3KA).

Kurniawan mengatakan, secara yuridis, sistem hukum negara Republik Indonesia mensyaratkan agar pelaksanaan pembangunan harus dilakukan berdasarkan dokumen perencanaan (Level nasional berupa RPJPN, RPJMN, Renstra - Kementerian/Lembaga, Renja Kementerian/Lembaga, RKP; dan Level daerah berupa RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD, Renja SKPD, dan RKPD) sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) maupun UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Secara filosofis, tujuan SPPN di bawah rezim hukum UU No. 25 Tahun 2004 adalah dalam upaya menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah, maupun antar pusat dan daerah.

Kurniawan menjelaskan bahwa perencanaan yang dimaksud adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan dengan mempertimbangkan sumber daya yang tersedia.

"Konsepsi pembangunan nasional dimaksud pada hakikatnya sebagai upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan berbangsa dan bernegara, SPPN sebagai satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah,” ucapnya dalam diskusi tersebut.

Kurniawan menjelaskan kaitannya dengan tahapan perencanaan pembangunan nasional diantaranya penyusunan rencana, penetapan rencana, pengendalian pelaksanaan rencana, dan evaluasi pelaksanaan rencana sementara enyusunan RPJP dilakukan melalui 3 tahapan yaitu penyiapan rancangan awal rencana pembangunan, musyawarah perencanaan pembangunan, dan penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.

Adapun penyebab terjadinya SILPA yang terjadi saat ini adalah karena terdapat program kegiatan pembangunan yang sudah masuk dalam dokumen perencanaan pembangunan, namun tidak dapat direalisasikan. 

Menurutnya, besar maupun kecilnya Dana SILPA dalam anggaran belanja daerah sangatlah ditentukan pada kemampuan suatu pemerintah daerah dalam realisasi program pembangunan yang sudah direncanakan. Semakin besar kemampuan realisasi program pembangunan, maka akan semakin kecil dana SILPA, demikian juga sebaliknya.

Sementara itu, Dr Amri selaku Pengamat Ekonomi Aceh. Dirinya mengatakan, kinerja ekonomi makro daerah Aceh misalnya dengan melihat tingkat kemiskinan, pengangguran, pemerataan ekonomi di 23 kab/kota serta pertumbuhan ekonomi daerah.

“Cara mengukur ekonomi di suatu daerah yaitu kinerja ekonomi makro, melihat pengelolaan keuangan daerah, dan kinerja/SKPA, inilah kinerja yang dapat kita lihat di Provinsi Aceh, perencanaan pembangunan terpusat, ada Bappenas di tingkat nasional, perencanaan pembangunan nasional, kalau provinsi dan kabupaten juga ada Bappeda, juga ada musyawarah gampong jadi sistem penganggaran di Indonesia sekarang ada empat yaitu APBN, APBA, APBK, APBS,” imbuhnya.

Dr Amri juga mengatakan, padahal Aceh memiliki hasil yang cukup banyak baik di sektor pertanian, perikanan, perkebunan, dan UMKM namun Provinsi Aceh tidak memiliki Cold Suply Chain dan Storage untuk keperluan Perikanan. Sehingga harus diekspor dan dijual ke Sumatera Utara.

“Pemerintah Daerah Aceh perlu mengedepankan mindset ekonomi, menjadikan Aceh sebagai pusat perekonomian, SDA yang berhasil dikelola tidak hanya dijual dilokal, Nasional, dan Ekspor untuk menambah nilai jual,” sebutnya.

“Masyarakat mendapatkan uang adalah lewat aktivitas bisnis dan kegiatan ekonomi,begitu aktivitas ekonomi terhenti maka kesejahteraan masyarakat menurun, bicara tentang ekonomi adalah data dan fakta yang dikeluarkan oleh Badan Statistik tentang kemiskinan, pengangguran, pemeratan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, perencanaan ekonomi di Aceh 6,5%, itu rencananya terlalu tinggi tapi faktanya rendah sekali,” tambahnya lagi.

Selanjutnya, Prof. Dr. Yusni Sabi mengungkapkan, ketika ada janji-janji politik pembangunan ekonomi walaupun direncanakan sekian persen juga tidak akan tercapai.

Ia menyebutkan bahwa attitude sangat berperan penting dalam eksekutif maupun legislatif yakni harus mempunyai sikap yang baik dan bertanggung jawab.

“Regulasinya tidak terealisasikan karena komunikasi, attitude yang tidak serius bahwa berkaitan dengan sikap/tingkah laku sangat-sangat transparan, artinya pengelola di daerah kita ini bagus komunikasinya,” sebutnya.

“Tidak ada negara yang miskin yang ada hanyalah negara yang salah urus,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda