Pelanggaran Etik Lili, Praktisi Hukum: Sikap Dewas KPK Sudah Pada Tupoksinya
Font: Ukuran: - +
Reporter : fatur
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI), Sujanarko mengatakan saat ini pihaknya masih melakukan konsolidasi dengan rekan-rekannya guna membahas apakah akan melaporkan Wakil Ketua Lili Pintauli Siregar ke polisi atau tidak.
Diketahui bahwa Lili Pantauli sebagai Wakil Ketua KPK dan berdasarkan putusan Dewas KPK, Lili dinyatakan telah terbukti menyalahgunakan pengaruhnya untuk kepentingan pribadi atau melanggar kode etik KPK dengan menekan Walikota Tanjung Balai nonaktif M. Syahrial guna pengurusan penyelesaian kepegawaian adik iparnya Ruri Prihatin Lubis di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Kualo Tanjungbalai.
Namun Dewas dalam hal ini menolak permintaan yang dilayangkan sejumlah pegawai non-aktif agar melaporkan Lili secara pidana. Dalam perkara ini, Dewas KPK sudah menjatuhi sanksi berupa pemotongan gaji 40% selama 12 bulan. Namun, sejumlah pihak menilai putusan itu tidak sebanding dengan dugaan tindak pidana lili.
Menanggapi hal itu Praktisi Hukum, Yulfan mengatakan Dewas inikan hasil undang-undang (UU) baru KPK tahun 2019.
“Kalau kita merujuk pada pasal 37 b pada UU tersebut, fungsi Dewas memang fokusnya untuk melihat apakah ada pelanggaran kode etik atau tidak ke semua pegawai KPK? Kode etik ini untuk kasus Lili kan sudah disidang dan diproses dan sudah terbukti ada pelanggaran kode etik,” ucapnya kepada Dialeksis.com, Kamis (23/9/2021).
Kemudian ia menjelaskan, dalam hal ini Dewas KPK sudah merekomendasikan atau mengeluarkan satu putusannya, yang intinya mengatakan bahwa lili mendapatkan sanksi pemotongan gaji dan sebagainya.
“Itukan adalah bentuk sanksi yang diberikan Dewas KPK. Dalam hal ini Dewas KPK ini berbeda fungsi dengan BPK, meskipun sama-sama melakukan fungsi pengawasan, BPK sebagai lembaga Independen juga yang melakukan fungsi pengawasan keseluruh lembaga-lembaga lain, negara, pemerintah dan dia bisa menjadikan rekomendasi hasil pemeriksaan, hasil temuan menjadi satu dugaan tindak pidana,” jelasnya.
“Dan Dewas KPK tidak berdiri pada posisi itu,” tegasnya.
Yulfan menambahkan, saya setuju dengan sikap Dewas hari ini, karena ranahnya memang ranah kode etik.
“Persoalan bahwa ada pelanggaran, kejahatan, tindak pidana, nah itu diluar Tupoksi Dewas KPK. Kalau kita melihat secara aturan, ibaratkan dalam Instusi Polri Dewas KPK ini seperti Provos. Kalau dugaan tidak pidana itu menjadi ranah penegak hukum yang proses pelaporannya bisa dilakukan oleh siapapun, tidak harus Dewas KPK, misalnya mungkin pihak yang merasa dirugikan, atau siapa saja,” jelas Yulfan.
Yulfan menegaskan kembali, secara hukum apa yang dilakukan oleh Dewas KPK ini sudah benar.
“Nah dalam hal ini, sebelumnya pihak ICW sudah melaporkan bahwa lili ini melakukan tindak pidana, nah ICW bisa dikatakan sebaga reperentasi masyarakat Indonesia yang merasa dirugikan oleh tindak tanduk pegawai KPK ini,” ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, dalam hal ini bahwa Dewas KPK itu hanya berfokus pada penegakan kode etik Internal (KPK).
“Kalau misal ada temuan-temuan itu diserahkan kepada publik atau siapa yang merasa dirugikan, dan juga sebenarnya dalam hal ini Dewas KPK bisa saja membawa hal ini ke ranah hukum, tetapi bukan sebuah keharusan dan kewajiban, ‘Dewas KPK tidak mempunyai kewajiban membawa orang tertentu yang melanggar kode etik yang diteruskan ke penegak hukum’, itu yang perlu digaris bawahi,” jelas Yulfan. [ftr]