Pasca Tsunami Aceh, Perempuan Mengubah Ruang Publik Jadi Lebih Inklusif
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Pengamat Sejarah Indonesia dan Politik Internasional, Baiquni Hasbi. Foto istimewa.
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Bencana tsunami Aceh yang terjadi pada 26 Desember 2004 meninggalkan jejak mendalam, baik pada lanskap geografis maupun struktur sosial masyarakat Aceh.
Tidak hanya mengguncang kehidupan sehari-hari, tsunami juga membuka pintu perubahan yang lambat tapi signifikan terhadap peran perempuan di ruang publik, termasuk transformasi simbolis warung kopi ruang yang dulunya didominasi laki-laki.
Pengamat Sejarah Indonesia dan Politik Internasional, Baiquni Hasbi mengatakan bahwa sbelum tsunami, warung kopi di Aceh adalah simbol patriarki yang kuat.
Tempat ini dikenal sebagai arena dominasi laki-laki, baik untuk diskusi politik, ekonomi, maupun sekadar tempat bersantai.
Namun, setelah bencana, perempuan Aceh, melalui tindakan kecil sehari-hari yang konsisten, perlahan-lahan mendobrak batasan ini.
Ia menyoroti bahwa fenomena ini sesuai dengan konsep "non-gerakan sosial" yang diperkenalkan oleh Asef Bayat.
"Perempuan Aceh tidak menggunakan bendera formal atau organisasi besar untuk memperjuangkan hak mereka. Sebaliknya, tindakan sehari-hari mereka, seperti duduk, bekerja, atau belajar di warung kopi, telah menjadi bentuk perjuangan tanpa suara yang sangat efektif," ujar Baiquni dalam akun Instagramnya yang dilansir media dialeksis.com, Sabtu, 28 Desember 2024.
Pasca-tsunami, banyak perempuan termasuk pendatang mulai terlihat di warung kopi. Mereka tidak hanya duduk diam, tetapi aktif menggunakan ruang ini untuk berbagai kegiatan produktif. Perubahan ini tidak terjadi tanpa perlawanan.
Baiquni mencatat bahwa pada awalnya ada resistensi dari sebagian pria yang merasa bahwa kehadiran perempuan di warung kopi bertentangan dengan norma budaya.
Namun, keberanian perempuan Aceh untuk tetap hadir di ruang-ruang ini telah mengubah paradigma tersebut secara perlahan.
Perubahan ini tidak hanya memberi dampak pada perempuan tetapi juga pada pelaku usaha warung kopi. Banyak pemilik kedai kopi yang kemudian beradaptasi dengan kebutuhan pelanggan perempuan, seperti menyediakan area bebas asap rokok, fasilitas kamar kecil yang terpisah, dan menciptakan suasana yang lebih nyaman untuk semua kalangan.
"Yang menarik dari fenomena ini adalah bagaimana ruang yang awalnya eksklusif menjadi inklusif tanpa adanya revolusi besar, ini adalah bukti bahwa perempuan Aceh mampu menciptakan perubahan sosial yang signifikan melalui keberadaan mereka," lanjutnya.
Transformasi ruang publik ini juga berdampak pada persepsi masyarakat terhadap peran perempuan. Keberadaan perempuan di warung kopi menjadi simbol perjuangan kesetaraan gender yang lebih luas.
Tempat ini tidak hanya menjadi ruang untuk bersosialisasi, tetapi juga forum informal untuk mendiskusikan isu-isu penting, mulai dari ekonomi lokal hingga politik nasional.
Baiquni menyimpulkan bahwa perubahan ini tidak lepas dari ketahanan dan adaptasi masyarakat Aceh pasca-bencana.
"Tsunami tidak hanya menguji kekuatan fisik masyarakat Aceh, tetapi juga membuka jalan bagi dinamika sosial baru. Perempuan telah menjadi aktor penting dalam perubahan ini, menunjukkan bahwa tindakan kecil dapat membawa dampak besar," pungkasnya.