Pandangan dan Masukan Aceh Kreatif Terkait Polemik BAS
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Ketua Aceh Kreatif, Delky Nofrizal Qutni. [Foto: Ist]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Ketua Aceh Kreatif, Delky Nofrizal Qutni mengatakan, dibutuhkan kapasitas kepemimpinan dan majerial serta kemampuan akselerasi jam terbang dalam menahkodai sebuah korporasi seperti Bank Aceh Syariah (BAS).
"Meskipun tidak ada aturan pembatasan bagi seseorang untuk menjadi top leader seperti jabatan Direktur Utama, tentu hal-hal yang terkait dengan strata jabatan dan talent pool jenjang kepemimpinan idealnya menjadi hal utama yang harus diperhatikan oleh para pihak termasuk, LPPI sebagai pemberi rekomendasi, OJK sebagai pelaksana fit and propert test maupun pemegang saham dan pihak berkepentingan lainnya," kata Delky kepada Dialeksis.com, Senin (20/2/2023).
Untuk menjamin sustainable kepemimpinan, lanjutnya, hal ini juga semestinya harus bergerak secara terstruktur menurut level eselonnya masing-masing jabatan, jika tidak, maka seorang yang kapasitasnya bicara teknis justru disuruh untuk menjadi pengambil kebijakan strategis sehingga menimbulkan kemelut di masa mendatang di perbankan plat merah itu.
Soal track record ini ranahnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang semestinya perlu didalami kembali secara khusus agar uji kelayakan dan kepatutan tidak hanya sekedar formalitas, termasuk soal kapasitas untuk menjadi top leaders yakni posisi Dirut BAS.
Berikutnya tentu semua berpulang kepada pemegang saham secara keseluruhan (gubernur, bupati dan walikota se Aceh) melalui RUPS/RUPS LB. Apakah akan menerima atau tidak seseorang menjadi pengurus bank (dirut/direksi/dekom).
"Seperti disampaikan OJK bahwa pihak OJK hanya melakukan test, sementara persoalan ditetapkan/dilantik atau tidak oleh RUPS, tidak ada kewajiban yang mengikat meski telah direkom OJK, semua para pemegang saham memiliki kepentingan dan kewajiban untuk menentukan keberlanjutan kepemimpinan bank dalam jangka panjang," jelasnya.
Namun, sambungnya, juga perlu diingat bahwa menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada Pj Gubernur sebagai Pemegang Saham Pengendali (PSP) juga terlihat agak keliru, karena BAS ini bukan mutlak kepemilikan personal, namun sifatnya korporasi yakni perseroan terbatas yang pemiliknya seluruh pemegang saham.
Dalam jabatan eks officio, makanya di dalam UU PT dan AD/ART PT Bank Aceh Syariah tentunya telah diuraikan mekanisme untuk penentuan pemilihan penetapan dan pengangkatan, pemberhentian pengurus bank medianya adalah RUPS terlebih dahulu, lalu secara kolektif keputusan RUPS memberikan mandat/kuasa kepada PSP untuk melaksanakannya sesuai ketentuan perbankan dan OJK. Sehingga dapat dikatakan pemberhentian Dirut sebelumnya hingga pengangkatan Plt Dirut tanpa melalui RUPS dan hanya keputusan dewan komisaris sepihak apakah itu dengan dan tanpa sepengetahuan PSP tetap merupakan sesuatu yang janggal, jika dilakukan tanpa RUPS.
"Jadi, agak kurang tepat jika hanya dipahami seolah-olah dipahami itu menjadi kewenangan mutlak Pj Gubernur sebagai eks offisio PSP. Kasihan kan, PSP nanti harus bertanggung jawab sendiri atas kebijakannya yang berpotensi negatif dan tidak seperti diharapkan. Konon lagi, hampir seluruh pemegang saham sekarang berstatus Pj, bagaimana kita bisa mengukur visi misi BAS dalam jangka panjang, sementara pj tugas utamanya lebih fokus kepada kepastian birokrasi pemerintahan, dan persiapan pileg/pilkada/pilpres 2024. itupun kalau posisi pj kepala daerah tidak diresufle di tengah jalan," ungkapnya.
Selain itu, juga perlu dipahami bahwa dalam manajemen sumber daya sebuah organisasi, mekanisme skema kaderisasi kepemimpinan secara struktural kelembagaan juga telah disusun secara terukur terstruktur berjenjang berkala dan berkelanjutan sesuai dengan tahapan-tahapannya, misalkan sesuai sertifikasi profesional pada masing-masing level struktural, dari yang grade/eselon terendah sampai yang tertinggi.
"Idealnya terlepas apapun visi misi yang ingin dituju, faktor-faktor ini sebagai talent pool regenerasi berkelanjutan harus menjadi pertimbangan dalam proses yang dilakukan," terangnya.
Adanya persoalan mendasar yang disebabkan oleh ketidakpastian indeks penilaian yang dilakukan LPPI dalam pemberian rekomendasi calon Dirut BAS menjadi persoalan yang tak terlepas dari polemik proses pemilihan Dirut BAS ini.
Di samping itu, kata Delky, 3 nama yang diberikan rekomendasi dikabarkan tak pernah mengikuti sekolah tinggi perbankan di LPPI, dan bahkan 2 nama yang mendapat rekomendasi juga pengalamannya di perbankan syariah relatif sangat minim. Tak sebatas itu, satu nama yang disebut dari kalangan internal juga secara track record hanya pernah memimpin BAS tipe C, itupun masih dibelenggu sejumlah persoalan seperti kredit macet pembangunan properti perumahan Griya milyaran rupiah dan pembiayaan usaha singkong bandar pusaka bernilai Rp 1 miliar.
Tentunya, hal ini menjadi pertanyaan publik tentang dasar pemberian rekomendasi oleh LPPI terhadap calon Dirut BAS yang disampaikan oleh komite remunerasi dan nominasi (KRN) kepada PSP.
Menurut Delky, dari sejumlah persoalan yang semestinya menjadi pertimbangan untuk menyelesaikan polemik berkepanjangan terkait pemilihan Dirut BAS ini, PSP dan para pemegang saham sudah seyogyanya melakukan RUPS/RUPS LB. Selain itu OJK juga diminta untuk lebih teliti dalam penetapan hasil fit and propert test dari 2 nama yang telah diajukan PSP.
Bahkan, lanjutnya, jika memang kedua nama tersebut tidak layak dan tak mumpuni track record yang mumpuni, maka sah-sah saja demi menjaga kredibilitas OJK di mata publik 2 nama tersebut ditolak dan diserahkan kembali kepada PSP untuk dibahas lebih lanjut sesuai dengan mekanisme yang berlaku.