Nelayan Keberatan Bupati Perintah Bongkar Pukat di Danau Lut Tawar
Font: Ukuran: - +
Reporter : Baga
Nelayan mengadakan pertemuan di pinggiran Danau Lut Tawar menolak kebijakan Bupati Aceh Tengah untuk membongkar penyangkulen padang (pukat)
DIALEKSIS.COM| Takengon- Masyarakat nelayan di pinggiran Danau Lut Tawar Aceh Tengah keberatan dengan sikap bupati yang memerintahkan masyarakat untuk membongkar pukat, dan alat penangkapan ikan sejenisnya di danau.
“Kami tidak bisa menerima kalau diperintahkan untuk dibongkar, karena di sini sumber hidup masyarakat di seputaran danau,” sebut Silahuddin perwakilan masyarakat nelayan cangkul, ketika dilangsungkan temut Pers, Jumat (28/1/2022) sore.
Menurut perwakilan masyarakat yang turut diikuti puluhan nelayan dalam sebuah pertemuan di pinggiran Danau Lut Tawar, Kampung Kala Segi Bintang, sikap Bupati Aceh Tengah yang mengeluarkan surat perintah untuk pembongkaran bukanlah langkah bijaksana dari seorang pemimpin.
“Seharusnya diajak masyarakat pemilik cangkul, dimusyawarahkan bila memang harus ditertipkan. Bukan untuk dibongkar secara sepihak seperti ini. Kalau ditertibkan kami tidak masalah, namun kalau dibongkar kami tidak terima karena ini sumber hidup kami,” sebut nelayan dalam pertemuan itu.
Bupati Aceh Tengah sudah mengeluarkan intruksi melalui suratnya (baca berita sebelumnya Bupati Perintah Bongkar Pukat di Danau), dengan ultimatum masyarakat harus membongkarnya sendiri sampai dengan Jumat 28 Januari 2022.
“Kami tidak akan membongkar cangkul gantung, kini disebut cangkul padang, apabila pemerintah daerah tidak memberikan lapangan usaha kami yang lain. Kami mau makan dari mana, sementara di sana sumber hidup kami,” sebut Silahuddin yang mewakili masyarakat di seputaran danau.
Menurut nelayan ini, pihaknya akan bertahan dan tidak akan membongkar peyangkulan. Mereka akan membongkarnya bila pemerintah daerah memberikan lapangan usaha yang lain untuk mereka bertahan hidup.
“Seharusnya dimusyawarahkan, kalau ditertibkan kami tidak keberatan. Kami akan ikuti apa peraturan tentang penyangkulan ini. Kalau dibongkar sama saja dengan membunuh kami untuk tidak makan,” sebut Sila yang turut didampingi Tasir, nelayan lainya.
Sila juga menjelaskan sejarah penyangkulan, alat penangkapan ikan ini. Dulu pada tahun 80 an, ada namanya penyangkulan gantung, dengan alat penerangan lampu petromax. Jarak antara satu penyangkulen dengan penyangkulen lainya 15 meter.
Kemudian hilang penyangkulen, muncul doran depik pada era 90 an. Ikan endimik Danau Lut Tawar ini tetap ada, karena ikan ini terus berbiak. Kini disaat negeri sedang dibalut corona, muncul trend baru dengan istilah cangkul padang.
Dulu diisukan doran depik akan memusnahkan ikan khas Gayo ini, namun buktinya doran depik tetap terpasang dan ikan depik tetap ada. Kini muncul cara penangkapan ikan dengan model baru, masyarakat menyebutknya cangkul padang. Ikan depik tetap ada.
“Kalau pemerintah mau menertibkan kami terima, namun jangan dibongkar. Lantas bagaimana dengan keramba yang juga menjamur diseputaran danau, padahal diketahui pakan ikan ini telah menjadikan danau tercemar. Menjadi racun, dimana racun harus dibersihkan dari ikan depik. Mengapa ini dibiarkan. Ini tidak adil namanya,” sebut Sila.
Sementara nelayan lainya, Zainal Abidin yang juga merupakan Reje Wakil Jalil (Kepala Kampung) Kecamatan Bintang menjelaskan, ikan depik yang mereka dapatkan dari penyangkulen ini dalam seharinya bila dijual nilai antara Rp 20 ribu sampai Rp 30 ribu.
“Sehari paling antara Rp 20 sampai Rp 30 ribu. Nilai ini untuk membeli pulsa listrik saja tidak cukup, Kecuali musim depik yang nilainya mencapai Rp 200 ribu. Kalau penyangkulen ini dibongkar, lantas nelayan bagaimana menghidupi keluarganya. Karena ini sumber hidup bagi nelayan di seputaran danau,” jelasnya.
Di seputaran Danau Lut Tawar ini ada sekitar 400 penyangkulan, dimana menjadi sumber hidup masyarakat di pinggiran danau. Mereka tidak mau membongkarnya dan akan menjaganya, mereka akan membongkarnya bila bupati memberi lahan usaha yang menjamin kehidupan mereka.
Selain penyangkulan padang di danau in juga ada penyangkulen dorong. Sama halnya dengan penyangkulen padang, pemilik penyangkulen dorong juga melakukan aksi protes atas surat bupati yang memerintahkan untuk dibongkar.
Bupati Aceh Shabela Abubakar sudah mengeluarkan surat kepada para camat diseputaran Danau Lut Tawar, agar surat itu disampaikan kepada reje (kepala kampung), agar disampaikan kepada masyarakat yang memiliki alat penangkap ikan pukat dorong, dan cangkul Padang atau nama lainya yang terpasang di seputaran Danau Lut Tawar untuk dibongkar sendiri.
Bupati Aceh Tengah dalam suratnya tertanggal 26 Januari 2022 dengan nomor 331.1/20/Satpol PP dan WH, menegaskan batas waktu yang diberikan hingga tanggal 28 Januari 2022. Apabila pada tanggal tersebut tidak dibongkar, maka tim terpadu Kabupaten Aceh Tengah akan melakukan penindakan sesuai ketentuan.