Nasir Djamil, Mengawal Moral Bangsa dari Gerbang Senayan
Font: Ukuran: - +
Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil (F-PKS)/Foto:Supardi/Iw
DIALEKSIS.COM | sebagai salah seorang Anggota Panitia Kerja (Panja) Revisi UU Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) dari Fraksi PKS, politisi asal Aceh Nasir Djamil tampaknya menyadari betul beban serta tanggung jawab yang diembannya agar UU pemidanaan Indonesia tetap berlandaskan karakter dan moral bangsa.
Terlebih dia berangkat ke senayan melalui jalur partai yang dikenal memiliki visi dan komitmen dakwah.
Hal itu ditunjukan alumnus Agama Islam (IAIN) Ar-Raniri Banda Aceh tersebut dengan mengkritisi pasal pasal dalam RUU KUHP yang berpotensi membuka celah peluang bagi kelompok pendukung LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) dalam melegalkan perbuatannya dalam kerangka hukum Indonesia. Diketahui hingga kini Masyarakat Indonesia serta pemuka agama di republik ini masih menilai perbuatan LGBT tergolong sebagai perbuatan tercela serta memiliki efek merusak moral dan generasi bangsa.
Sejumlah pihak terang terangan menyatakan Perilaku seksual menyimpang alias belok tersebut tidak sesuai dengan budaya dan norma kesusilaan masyarakat Indonesia yang berlandaskan nilai nilai pancasila. Bahkan salah seorang ustad ternama di tanah air ketika berkunjung ke Aceh sempat berujar bahwa perilaku yang lebih rendah dari binatang itu lebih tepat disebut sebagai penggemar lubang kotoran.
Karena itu kemudian mantan aktivis HMI ini kerap bersuara keras ketika menyangkut LGBT dalam rancangan RUU KUHP. Kepada media beberapa waktu lalu Nasir Djamil mengatakan partainya sejauh ini konsisten agar perilaku LGBT dapat dipidana.
"PKS sejak awal sudah mengusulkan agar pelaku LGBT bukan hanya pelaku dewasa terhadap anak-anak tapi juga pelaku dewasa terhadap pelaku dewasa yang lain," ujar Nasir dalam keterangan tertulisnya yang dikirim ke berbagai media pada 21 Januari 2018.
Ketika pembahasan RUU KUHP pada januari 2018 lalu, Nasir Djamil menegaskan fraksinya mengusulkan dua norma baru dalam RUU KUHP.
Pertama, mengenakan pidana terhadap perilaku LGBT, baik pelaku dewasa dengan korban anak-anak maupun pelaku dewasa dengan dewasa. Menurut dia, revisi UU KUHP yang diusulkan pemerintah sebatas mengatur pidana terhadap perilaku LGBT dengan korban anak-anak. Sementara, perilaku LGBT dewasa dengan dewasa tidak dimasukkan sebagai tindakan pidana.
Nasir Djamil menjelaskan, pelaku LGBT dewasa dengan dewasa seharusnya masuk ranah pidana karena pelaku sudah memiliki akal dan tanggung jawab.Kedua, Fraksi PKS juga mengusulkan di Panja Revisi UU-KUHP untuk memasukkan norma pembelian seks terhadap anak. Sebab kini kasus ditemukan dimana banyak anak-anak karena keterbatasan yang dimiliki mudah dirayu dan diiming-imingi oleh para predator seks.
Konsistensi Nasir Djamil menolak keras perilaku LGBT tersebut sempat diprotes sejumlah pihak yang pro pergaulan seksual sesama jenis dengan dalih melanggar hak asasi manusia. Sebuah surat terbuka dibuat oleh LGBT rights defender atau pembela Hak LGBT yang isinya menyayangkan pernyataan dari 5 pejabat negara anti LGBT, salah satunya adalah Nasir Djamil.
Meski demikiran dirinya tetap menolak perilaku LGBT itu meski dinilai melanggar HAM. Dirinya mengaku kepada media tidak keberatan bila dilaporkan ke Komnas HAM. Bahkan dia memamerkan pernah menolak kaum gay menjadi anggota Komnas HAM.
"Saya menolak (LGBT), waktu Komnas HAM dari gay, kami menolak," kata Nasir seperti dikutip suara.com
Mengenai kelompok yang tidak sepakat dengan landasan Hak Asasi Manusia (HAM), Nasir menganggap pandangan tersebut keliru. Katanya, baik kumpul kebo dan LGBT tidak perlu dikaji dengan perspektif HAM karena pelakunya jelas-jelas abnormal dan perlu diobati.
"Bukan malah dikasih panggung atas nama HAM," katanya seperti dikutip Tirto.id.Upaya menjaga moral bangsa melalui pengawalan kebijakan perumusan aturan perundangan tidak hanya kali ini saja dilakukan oleh pria yang dinobatkan sebagai "Sosok Politisi Muda yang Patriotis" oleh Majalah Biografi Politik ini.
Sebelumnya di Tahun 2015, Nasir Djamil juga kerap bersuara vokal mengkritisi aturan pemerintah yang menghapuskan pajak bisnis dunia hiburan malam melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor.158/PMK.010/2015 Tentang Kriteria Jasa Kesenian dan Hiburan.
Penghapusan Pajak dunia hiburan tersebut dikhawatirkan dapat menumbuhsuburkan bisnis dunia hiburan malam hari yang sebagaimana diketahui sarat dengan transaksi maksiat.
"Saya menyesalkan dan mempertanyakan sikap pemerintah yang memasukan diskotek, karaoke, klab malam dan sejenisnya masuk ke dalam kriteria jasa kesenian dan hiburan yang tidak dikenai PPN sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf e PMK tersebut," kata Nasir seperti dikutip tribunnews.
Sikap demikian, menurut Nasir, justru kontraproduktif dengan upaya revolusi mental yang selama ini digadang-gadang pemerintahan Joko Widodo.Apalagi, tambah Nasir, di tengah semangat untuk membatasi bahkan menghapus minuman beralkohol dan rokok yang dapat merusak kesehatan dan mental masyarakat.
"Diskotek, karaoke, klab malam dan sejenisnya seharusnya pelan-pelan di tutup," ujar Nasir.
Lebih lanjut Nasir mengatakan, memasukan diskotek, karaoke dan klab malam sebagai kriteria jenis jasa yang tidak dikenai PPN merupakan ide dangkal dari seorang menteri. Menurutnya, Menkeu dalam menafsirkan kriteria jasa kesenian dan hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A UU Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, tidak sesempit dengan menafsirkan hanya sebagai bagian dari jasa kesenian dan hiburan yang bebas pajak.
"Tetapi dapat mencari jenis seni dan hiburan lain yang memang bermanfaat, dibutuhkan rakyat miskin dan tidak membawa banyak mudharat bagi rakyat," imbuh politisi PKS asal Aceh itu.
Selain itu, lanjut Nasir, seharusnya dalam menyusun suatu kebijakan, Pemerintah wajib mempertimbangkan dampak yang akan terjadi di masyarakat. Pembebasan PPN terhadap diskotek, karaoke dan klab malam, dikhawatirkan dapat memicu pertumbuhan jumlah diskotik, karaoke dan klab malam di Indonesia.
"Akibatnya akan menimbulkan demoralisasi mental masyarakat terutama bagi para generasi muda," ujar Nasir.
Lebih lanjut, Nasir juga mengungkapkan, bahwa kekhawatirannya tersebut bukan tanpa alasan. Menurut Nasir, pertumbuhan diskotek, karaoke dan klab malam akan berbanding lurus dengan pertumbuhan kejahatan. Untuk itu, Nasir meminta Pemerintah segera mencabut kriteria diskotek, karaoke dan klab malam sebagai bagian dari jasa kesenian dan hiburan yang tidak dikenai PPN.
"Karena hal itu dapat mereduksi nilai-nilai kultur religius bangsa yang selama ini telah terbangun dan demi menyelamatkan masa depan anak muda Indonesia," pungkas Nasir. (PD)