DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) kini menghadapi ketidakpastian yang serius, di mana nasib lembaga ini pasca dibekukan akibat tidak adanya alokasi anggaran operasional sejak tahun 2023. Krisis anggaran ini mengancam kelangsungan peran strategis PDIA dalam mendokumentasikan dan melestarikan sejarah Aceh yang sangat berharga.
Mantan Kepala PDIA, Drs. Mawardi Umar, M. Hum., M.A mengungkapkan bahwa selama ini PDIA mendapatkan pendanaan operasional dari pemerintah Aceh. Namun, pada tahun 2023, anggaran tersebut tidak lagi dialokasikan sehingga seluruh staf kontrak tidak menerima honorarium.
"Semua staf PDIA diangkat berdasarkan keputusan gubernur. Tidak mungkin kita meminta mereka bekerja tanpa kompensasi yang layak," ujarnya dalam wawancara dengan Dialeksis.
Menurut Mawardi, perubahan skema pendanaan menjadi penyebab utama terhentinya operasional PDIA. Dahulu, lembaga ini menerima dana hibah, namun aturan Kementerian Dalam Negeri melarang pemberian hibah berturut-turut selama tiga tahun. Akibatnya, pendanaan dialihkan ke dana operasional yang dititipkan melalui Dinas Arsip dan Perpustakaan Aceh (ARPUS). Sayangnya, kebijakan ini tidak diikuti dengan langkah-langkah konkret untuk menjamin kesinambungan PDIA, sehingga nasibnya pun kini pasca dibekukan.
Mawardi mempertanyakan upaya serius dari pemerintah, terutama pada masa kepemimpinan Nova Iriansyah, untuk mencari solusi atas permasalahan ini.
"Jika memang ada niat tulus dari pemerintah, pasti ada jalan keluarnya. Ini bukan hanya soal anggaran, tetapi tentang menyelamatkan dokumen dan arsip sejarah Aceh yang tak ternilai," tegasnya.
Dalam upaya menyelamatkan keberadaan PDIA, Mawardi mengungkapkan telah berulang kali berkomunikasi dengan Pemerintah Aceh. Salah satu usulan yang pernah diajukan adalah penyerahan koleksi PDIA kepada Universitas Syiah Kuala (USK) atau langsung kepada Pemerintah Aceh, namun ia menegaskan bahwa lembaga PDIA harus tetap eksis dan tidak sekadar koleksinya yang dipindahkan.
"Saya ingin PDIA tetap ada. Jika hanya koleksi yang diambil, belum tentu dokumen-dokumen tersebut akan dirawat dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya," tambahnya.
Mawardi juga menyoroti kesalahpahaman mengenai fungsi PDIA. Menurutnya, PDIA tidak boleh disamakan dengan Dinas Arsip atau Dinas Komunikasi dan Informatika.
"Banyak yang hanya melihat dari namanya, padahal PDIA lebih dari sekadar penyimpanan arsip. Lembaga ini fokus pada koleksi terbitan mengenai Aceh baik dalam bentuk cetak maupun digital serta studi mendalam tentang sejarah Aceh, yang memiliki nilai strategis berbeda," jelasnya.
Dengan pergantian kepemimpinan di Aceh, harapan baru pun muncul agar PDIA segera mendapatkan dukungan nyata dari pemerintah dan para pemangku kepentingan.
"Skema awal PDIA, yang mengandalkan dana dari pemerintah daerah serta dukungan teknis dan ilmiah dari USK, sudah terbukti efektif. Langkah pertama adalah memperjelas aturan pendanaan agar tidak mudah bergeser seiring perubahan kebijakan," pungkas Mawardi.
Menanggapi situasi tersebut, Din Saja, atau yang dikenal pula dengan nama Ade Soekma dan Fachruddin Basya budayawan sekaligus seniman menilai bahwa nasib PDIA pasca dibekukan merupakan peringatan keras bahwa dukungan terhadap pelestarian sejarah harus menjadi prioritas.
"Penyelamatan PDIA bukan semata soal pengelolaan anggaran, tetapi juga tentang mempertahankan identitas dan ingatan kolektif bangsa. Kerjasama yang solid antara Pemerintah Aceh dan USK perlu segera diperkuat untuk mengembalikan peran strategis PDIA," ujar Din Saja.
Hingga kini, nasib PDIA masih menggantung. Diharapkan Din Saja, Pemerintah Aceh dan USK segera mengambil langkah konkret untuk mengatasi krisis ini agar dokumen dan arsip bersejarah Aceh tetap terjaga dan dapat diakses oleh masyarakat luas, sebagai bukti nyata komitmen terhadap pelestarian sejarah dan identitas bangsa.
"Krisis yang menimpa PDIA tidak hanya mencerminkan masalah pendanaan semata, melainkan juga tantangan besar dalam menjaga warisan sejarah dan identitas bangsa. Harapan kini tertuju pada sinergi antara pemerintah daerah, institusi akademis, dan berbagai pihak terkait untuk menemukan solusi yang tepat, sehingga PDIA pasca dibekukan dapat dihidupkan lagi sebagai lembaga dokumentasi merawat sejarah, guna menjaga pelestarian sejarah dan budaya Aceh," tutupnya.