Minggu, 22 Juni 2025
Beranda / Berita / Aceh / Model Kamp Pengungsi Dinilai Usang, Penanganan Pengungsi di Aceh Perlu Dievaluasi

Model Kamp Pengungsi Dinilai Usang, Penanganan Pengungsi di Aceh Perlu Dievaluasi

Minggu, 22 Juni 2025 11:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Muntaziruddin Sufiady Ridwan

Hendra Saputra, perwakilan JRS Indonesia, tengah memaparkan model dan pola penanganan pengungsi di Aceh pada diskusi publik dalam rangka memperingati Hari Pengungsi Sedunia, Jumat (21/6/2025). (Foto: Muntaziruddin Sufiady Ridwan/Dialeksis.com).


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Penanganan pengungsi di Aceh dinilai masih cenderung pada model ‘Kamp’ yang bersifat tertutup dan restriktif. Berbeda dari wilayah lain di Indonesia mulai mengadopsi sistem Community-Based yang diejawantahkan dalam bentuk Community Housing, Aceh tetap mempertahankan pola lama yang disebut “semi-penjara”.

“Kenapa saya bilang semi-penjara? Karena pengungsinya dilarang untuk keluar dari tempat penampungan. Jangankan keluar untuk jauh, keluar beli rokok ke depan saja itu tidak bisa,” kata Hendra Saputra dari Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia dalam diskusi publik pada Jumat (21/6/2025) sore, di Pelataran Kantor Kontras Aceh, Banda Aceh.

Sejak tahun 1975, Indonesia menjadi salah satu negara tujuan pengungsi Vietnam yang melarikan diri dari konflik berkepanjangan di tanah air mereka. Pada tahun 1979 pemerintah menetapkan Pulau Galang sebagai lokasi penampungan terpusat hingga 1996.

Pulau ini dipilih lantaran letaknya yang strategis dan masih sepi penduduk. Kemudahan koordinasi dengan negara tetangga serta kecilnya potensi konflik dengan masyarakat lokal juga menjadi alasan lainnya.

Penanganan pengungsi di Pulau Galang dilakukan melalui kerja sama erat antara Pemerintah Indonesia, UNHCR, dan negara-negara donor seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman Barat, dan Kanada yang menyediakan dana untuk fasilitas lengkap di kamp tersebut.

UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) berperan aktif dalam pemrosesan status pengungsi dan pemukiman kembali ke negara ketiga, sementara pemerintah Indonesia membentuk lembaga khusus seperti P3V (Penanggulangan dan Pengelolaan Pengungsi Vietnam) dan Kogas (Komando Tugas) untuk mengatur keamanan, administrasi, serta pemulangan sukarela pengungsi.

Kala itu, Hendra memaparkan, pendekatan yang digunakan adalah penahanan administratif di rumah detensi imigrasi. Digunakannya pendekatan ini lantaran Indonesia belum punya kerangka hukum spesifik yang mengatur tata kelola pengungsi dari luar negeri. Penahanan di rumah detensi imigrasi itu, kata dia, hampir mirip seperti penjara.

“Pada saat pengungsi datang, dia ditampunglah di tempat-tempat penampungan yang berbentuk kayak, kita bilang ‘Kamp’ itu semi penjara bisa jadi, kita bilang penjara pun nggak cukup syaratnya. Tapi kita bilang semi-penjara,” ucapnya.

Transformasi kebijakan mulai terjadi tatkala Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri ditetapkan dan diberlakukan pada 31 Desember 2016. Regulasi ini menandai peralihan pendekatan penanganan pengungsi ke arah yang lebih humanis.

Namun, perubahan tersebut belum berjalan seragam di seluruh wilayah Indonesia. Ketidakseragaman tersebut dinilai Hendra memperumit tata kelola pengungsi secara nasional. Padahal, menurutnya, saat ini pengungsi bukan lagi isu yang jauh dari masyarakat.

“Salah satu PR besar penanganan pengungsi di Aceh adalah terkait dengan pola penanganannya masih tidak seragam antara Aceh, Medan, Pekanbaru, dan di luar Jakarta-Bogor, Makassar, ini pola yang belum seragam,” ujar Hendra.

“Orang-orangnya [para pengungsi] sudah ada di sekitar kita, kita harus berpikir penanganannya,” tambahnya.

Berkaca dari pengalaman Indonesia dalam menangani persoalan tata kelola pengungsi luar negeri. Sudah seharusnya Aceh dengan kekhususan yang dimilikinya mengambil langkah progresif. Kendati begitu, di Aceh, pola penanganan pengungsi ini justru mengalami stagnasi.

“Kembali dalam konteks Aceh. Penanganan pengungsi dengan pendekatan Community Housing bukan menjadi pilihan. Di Aceh, pilihannya hanya selalu membuat pilihan tersendiri. Disebut dengan pilihannya untuk membuat ‘Kamp Pengungsi’, ungkapnya.

Pola penanganan seperti ini, bebernya, telah berlangsung sejak 2009. Dalam periode tersebut, Aceh berperan sebagai lokasi penampungan sementara. Setelah itu, para pengungsi kemudian dipindahkan ke Pekanbaru atau Medan.

Namun, mulai tahun 2021 hingga kini, skema tersebut berubah. Bila sebelumnya hanya membutuhkan waktu setahun atau dua tahun, kini banyak pengungsi menetap dalam kurun waktu yang cukup lama.

“Pengungsinya hari ini [yang menetap] sudah cukup lama. Ada pengungsinya [yang menetap] sudah hampir 4 tahun. [Sejak mendarat pada] 2022 hingga sekarang, mereka belum pernah berpindah,” kata dia.

Situasi ini, dalam amatan Hendra, mencerminkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap penanganan pengungsi. Di Aceh, khususnya, model kamp yang saat ini diterapkan dianggap tidak lagi relevan bila tidak disertai perlindungan hak dasar serta upaya integrasi sosial.

Dengan semakin banyaknya pengungsi yang menetap dalam jangka panjang, terutama di Aceh, urgensi peralihan dalam pendekatan penanganan menjadi kebutuhan yang tak bisa ditunda.

Melihat dinamika tersebut, JRS mengusulkan dua model pendekatan dalam penanganan pengungsi. Pertama adalah penanganan masa emergensi--yakni saat pengungsi baru datang ke wilayah Indonesia dan membutuhkan bantuan darurat.

Kedua adalah penanganan masa menunggu, yaitu ketika pengungsi telah menetap dalam jangka waktu lama sambil menanti proses penempatan kembali (resettlement). Kendati begitu, masa menunggu ini menjadi tantangan tersendiri lantaran proses resettlement punya kuota yang sangat terbatas.

Sebagai solusi, Hendra mendorong adanya penguatan keterampilan dan pendidikan bagi pengungsi selama masa tunggu tersebut. Ia menilai ada peluang bagi mereka untuk mengakses negara ketiga tidak hanya melalui resettlement, tetapi juga lewat jalur pekerjaan dan pendidikan.

“Kalau dia punya skill, dia bisa apply kerja di luar. Dia juga bisa di resettlement. Atau yang ketiga, pengungsi yang punya pendidikan. Dia bisa apply sekolah luar negeri,” jelasnya.

Meski demikian, ia menilai bahwa aturan yang ada di Indonesia masih belum cukup kuat, terutama di level implementasi. “Indonesia itu lumayan baik dengan pengungsi karena dia punya aturannya. Tapi lagi-lagi hanya aturan, pengimplementasiannya masih kurang,” tukas Hendra. [msr]

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
dpra