Mendulang Rupiah dari Gurita
Font: Ukuran: - +
(Foto: Indra Wijaya)
DIALEKSIS.COM | Simeulue - Matahari baru saja menampakkan sinarnya pagi ini. Cuaca ciri khas suanana sangan lekat terasa pagi itu. Didi sibuk dengan urusannya mempersiapkan peralatan mencari gurita.
Mulai dari sepatu bebek untuk menyelam, senapan ikan, dan alat pancingan yang semalam telah rampung ia kerjakan. Didi Mariadi (23), merupakakan nelayan pencari gurita di Desa Latiung, Kecamatan Teupah Selatan, Kabupaten Simeulue, Aceh.
Ia dan temannya Kasri, telah sepakat untuk mencari gurita pagi Senin (13/1). Mereka merencanakan untuk mencari gurita sekitaran pantai lantiung yang jaraknya sekitar dua kilometer dari tempat tinggalnya.
"Rencananya mau turun di dekat pelabuhan tu," katanya, sembari meletakkan umpan buatan disebelah kirinya. Sesekali ia menyeruput kopi hitam yang ada di depannya.
Pria berperawakan dengan tubuh kekar sedikit bungkuk, rambut agak ikal, dengan kulit agak hitam, bangkit dari tempat duduknya. Ia segera pergi menemui temannya Kasri yang tak jauh dari dekat rumahnya.
Mencari gurita sendiri, sudah rutinitas sehari-hari bagi anak muda yang tinggal di pinggiran pantai. Teruma anak sekolah. Mereka sering menjadikan profesi mencari gurita ini sebagai selingan sepulang sekolah.
Hanya dibekali pancingan dan umpan buatan mereka siap turun kelaut. Pasarnya yang mudah di dapat, membuat profesi mencari gurita menjadi banyak digeluti para anak muda.
Matahari hari semakin terik. Didi dan Kasri, lekas bergegas berangkat kepinggiran pantai. Sekitar 15 menit perjalanan dengan menggunakan sepeda motor mereka sampai disebuah gubuk masyarakat daerah tersebut juga.
Setelah sepeda motor diparkirkan, mereka berjalan kaki di jalan setapak menuju tepi pantai. Himpitan semak belukar tak menampakkan rasa takut akan bahaya yang aka mereka hadapi. "kalau cuaca bagus biasanya ombaknya enggak terlalu kencang," katanya. "Biasanya yang paling sulit, pas lagi musim angin. Ombaknya agak besar," tambahnya.
Deburan ombak yang menghantam batu karang diiringi dengan pantulan cahaya kristal akibat pantulan matahari semakin memanjakan mata. Didi segera mengganti pakaiannya.Dengan posisi tembak ikan sebelah kiri dan alat pancing gurita disebelah kanannya, ia langsung terjun ke laut. Hari itu cuaca cukup menjanjikan. Ombaknya pun tak terlalu besar.
Hanya sedikit awan hitam terlihat di tengah lautan. Selagi mereka menyelam, beberapa perahu kecil terlihat menghampiri mereka. Baik itu hanya sekedar menyapa ataupun berhenti sejenak untuk meminta umpan pancing.
Dilansir dari akun website kkp.go.id, pada maret 2019, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (SKPM) Aceh, mencatat sekitar 77 ton lebih hasil perikanan keluar dari Pulau Simeulue. Produkl hasil perikanan tersebut dikirim keberbagai wilayah di Indonesia seperti Medan, Lampung, Padang hingga ke Jakarta.
Komoditas yang dikirim antara lain ikan Tongkol, Kerapu, Lobster, Teripang, Gurita dan Ikan Bayam. Pada tahun 2016, produksi gurita di Pulau Simeulue mencapai 480 ton per tahun atau 3,33 persen dari total produksi perikanan tanggkap wilayahnya sebanyak 14.400 ton per tahun atau rata-rata 40 ton perharinya. Angka tersebut menunjukkan betapa kayanya hasil laut Simeulue.
Harga Murah
Kasri baru saja naik kedarat, setelah tiga jam berada di dalam air mencari beberapa gurita. Hari itu ia mendapatkan tiga ekor gurita. Satu ekor berukuran besar dengan berat hampir tiga kiloan.
Raut mukanya terlihat bahagia. Tak lama berselang, temannya didi keluar dari dalam air. Ia hanya mendapatkan satu ekor gurita berukuran kecil. Tapi tak masalah buatnya.
Ia banyak mendapatkan ikan-ikan bagus yang nantinya akan dijual dengan harga Rp10.000 satu ikatnya. Mereka langsung mengantarkan hasil tangkapan mereka langsung kepada penadah.
Mereka sering menyebutnya toke angelet (dalam bahasa Indonesia Toke Gurita). Total berat gurita mereka yang digabungkan menjadi 3,5 kilo. Mereka mendapatkan uang Rp111.000 dengan harga Rp30.000/kilonya.
Semenjak tahun baru, harga jual gurita mengalami penurunan drastis. "Dulu di bulan Juni harga gurita sampai Rp78.000/kilo," katanya Kasri. Ia mengaku jika dibandingkan dengan tahun lalu dalam sehari mereka dapat mengumpulkan uang hingga Rp500.000.
"Pas harga gurita lagi mahal, siang kita turun mencari gurita sore jam empat kiat naik, enggak kurang dari Rp400.000-Rp500.000," tambahnya.
Temannya Didi, mengaku pernah mendapatkan uang dalam sehari mencari gurita sekitar Rp1.500.000, "Pernah dua kali turun pagi jam delapan naik siang jam dua belas untuk makan, lanjut turun cari gurita lagi dari jam dua sampai jam empat, aku dapat hampir dua jutaan,"terang Didi.
Semenjak harga gurita turun, pendapatan mereka sedikit berkurang. Dalam sehari pendapatan mereka tak sama seperti dulu. Bahkan pada tahun gurita tidak laku terjual, dan mereka terpaksa menjualnya kepada masyarakat sekitar, yang tentunya harga jual jauh lebih murah.
Adi, salah seorang pengepul gurita mengatakan, penyebab pasti turunnya harga gurita belum diketahui. "Toke yang di Medan, dia bilang harga gurita lagi turun sekarang, enggak tau juga kenapa,"ujarnya saat dijumpai di keramba dekat rumahnya di Jalan Potongan, Suka Karya, Sinabang, Jum’at (17/1/2020).
Dalam seharinya ia dapat menampung gurita dari para pengepul di Simeulue Tengah mencapai 200 kilo/hari. Berbanting terbalik saat harga gurita mencapai Rp85.000/kilo, seharinya ia menampung lebih dari 200 kilo.
"Waktu harga gurita lagi naik, seharinya saya bisa menampung lebih dari 200 kilo. Dan tiap minggunya pengiriman dilakukan keluar daerah Simeulue paling sedikit 1 ton," jelasnya.
Susi dingin yang sedari Didi minum telah habis. Ia dan temannya Kasri berrgegas merapikan barang mereka. Hari itu tangkapan mereka tak cukup banyak. Akan tetapi esoknya mereka akan melakukan pekerjaan yang sama.
Yakni pergi ke laut mencari gurita untuk menyambung roda ekonomi. Secercah harapan tersirat di wajah mereka. Berharap esok tangkapan mereka lebih banyak dari pada hari ini. (Indra Wijaya)