Memahami Karakter Orang Aceh di Perantauan
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Pakar budaya dan sastra Aceh, Teuku Abdullah Sakti, Dokumen pribadi untuk dialeksis.com
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tragedi Imam Masykur putra Aceh asal kabaupaten Bireuen, yang ditimpa musibah pembunuhan ketika belum sampai setahun merantau ke Jakarta, tidaklah menyurutkan semangat putra-putri Aceh lainnya berangkat mengadu nasib ke perantauan.
Sebab, nasib mujur atau nasib malang merupakan hak takdir milik ilahi sementara, hanya diperantauanlah seseorang dapat mengubah nasib diri, dalam upaya menjaga harga diri.
Pakar budaya dan sastra Aceh, Teuku Abdullah Sakti mengatakan orang Aceh memberi nilai kepada dirinya teramat tinggi alias jual mahal. Harga diri super tinggi ini menyebabkan terwujudnya beberapa sifat atau watak lain baik positif maupun negatif.
Perilaku positif yang merupakan benteng pertahanan harga diri pula meliputi tabah menghadapi kesukaran, percaya diri, terus terang-terang dalam pergaulan, heroisme dan pantang dikhianati.
Sementara perangai yang dapat dikategorikan negatif meliputi terlalu besar rasa curiga, dendam, dan orientasi membangga-banggakan masa lalu.
"Sesungguhnya, kedua karakter (positif maupun negatif): pada dasar merupakan “pagar waja berduri” untuk melindungi harga diri dari ancaman luar (selain dirinya sendiri)," kata Teuku Abdullah Sakti kepada Dialeksis.com, Minggu (17/9/2023).
Teuku Abdullah Sakti mengatakan bahwa suasana berikut sering dialami orang Aceh di perantauan, terutama yang merantau ke luar daerah Aceh. Teman“teman yang bukan asal Aceh jadi terheran-heran ketika menyaksikan para mahasiswa asal Aceh tidak pernah pulang kampung sampai tiga-empat tahun.
Pada suatu hari, Ada seorang pria yang bernama Harsono bersala dari Solo pernah bertanya kepadanya tentang karakter orang Aceh di Gelanggang mahasiswa kampus UGM Yogyakarta.
Mas Harsono betul-betul tak habis pikir ketika mengetahui lebih lanjut, bahwa tidak jarang mahasiswa asal Aceh sama sekali tidak pernah pulang kampung sejak berangkat pertama kali untuk kuliah (di rantau) sampai dia selesai kuliah.
Bahkan banyak pula yang baru pulang kampung, setelah beristeri serta memiliki putra-putri dua tiga orang, dengan mempersunting gadis Yogya yang lembut mempesona atau putri Solo yang cantik-ayu.
"Itulah salah satu gambaran ketabahan orang Aceh dalam menempuh kemelut kehidupan. Kata-kata ‘menyerah!’ terlalu pantang diucapkan apalagi dilakukannya," ujarnya.
T.A Sakti mengatakan keadaan lingkungan juga ikut mendorong terciptanya sifat tabah itu. Meskipun orang Aceh punya sifat keakuan yang tinggi, bukan berarti mereka sukar bekerjasama dalam pergaulan sehari-hari.
Hanya saja, dirinya ingin dihargai sebagai makhluk Tuhan yang punya martabat melebihi berbagai makhluk lainnya. Jadi, penghargaan yang diharapkan betul-betul cukup manusiawi. Persis seperti yang terkandung dalam pancasila, yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab.
"Setiap perlakuan yang manusiawi, bila telah diterima orang Aceh dari pihak lain, akan dibalasnya dengan imbalan penghargaan yang setimpal pula. Dalam hal ini, sikap saling menghargai cukup seimbang jadinya," pungkasnya.