Beranda / Berita / Aceh / Melihat Gizi Buruk di Pulau Simeulue

Melihat Gizi Buruk di Pulau Simeulue

Minggu, 23 Februari 2020 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Indra Wijaya

Ilustrasi


DIALEKSIS.COM | Simeulue – Anak lelaki itu sedari tadi bermain dengan sepotong ranting yang ada di tangannya. Tubuhnya agak kurus. Air ludahnya sesekali jatuh. Ia tampak linglung seperti orang kebingungan. RA anak dari pasangan Efdi dan Suriati. Sejak lima tahun terakhir ia menderita kekurangan gizi.

“Itulah kerjaannya setiap hari,” kata Suriati dengan nada lirih. 

Wanita dengan tinggi sekitar 150cm duduk di atas batang pohon yang telah mati. Anaknya paling kecil mengambil tempat di pangkuannya, duduk termenung di pekarangan gubuk kebun miliknya, di Kecamatan Teupah Selatan, Kabupaten Simeulue, Minggu (2/2/2020). 

Kulitnya sedikit gelap. Suriati, duduk bersiku di sebuah batang pohon di samping gubuk miliknya. Ia memangku anak perempuannya yang masih berumur tiga tahun. Sementara suaminya Efdi duduk bertengger diatas gubuk selebar 3x4 itu.

“Sebelum dia menderita kurang gizi pas umur dua tahun. Sebelumnya dia berprilaku normal seperti anak biasanya. Bahkan ia sudah bisa mengaji,” terangnya. Semenjak anaknya menderita kekurangan gizi, kini ia sulit dalam mengenali sesuatu. Ia hanya mengingat ayah, ibu, abang, dan adiknya saja.

Ia menceritakan jika anaknya tidak menderita gizi buruk, saat ini RA kini menduduki kelas dua Sekolah Dasar. Wajahnya penuh harap saat membayangkan anaknya dapat bermain seperti anak-anak seusianya dengan normal.

Semasa mengandung anaknya (RA), ia pernah mengecek kandungannya di Puskesmas. Mereka mengatakan kondisi kandungannya baik-baik saja. Pasca melahirkanpun, anaknya lahir dengan berat badan normal. Untuk imunisasi anak umur 0-9 bulan pun ia mengikutinya di posyandu. Hingga anakknya berumur dua tahun keadaan masih normal seperti hari biasanya.

Ia mengatakan, anaknya di umur tersebut sudah bisa mengaji dan lancar berbicara. Pada suatu hari anaknya jatuh sakit. “Pas dia sakit badannya kejang-kejang kayak step,”katanya.

Pada masa itu ia belum mengetahui kalau anaknya terkena kurang gizi. Lantas ia beriniasiatif membawa anaknya ke pengobatan tradisional. Namun hasilnya nihil. Anaknya tak kunjung sembuh. Melihat penyakit yang terus diderita anaknya, ia dan suaminya mengambil langkah untuk membawa RA puskesmas kecamatan dan mendapat rujukan ke Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Simeulue.Disitu ia baru mengetahui bahwa anaknya didiagnosis menderita kurang gizi oleh dokter.

Genangan kristal tampak dimatanya. Sorot matanya sendu. Ia kembali berbicara dengan nada lirih ia kembali menceritakan tentang kekecewaan kepada Dinas Kesehatan yang kurang memperhatikan anaknya. Ia mengatakan, pihak dari Dinkes sendiri sudah beberapa kali menemui ia dan anaknya. Namun hal tersebut tak kunjung ada perubahaan terhadap anaknya. Hingga kini anaknya RA telah berujur tujuh tahun dan belum sembuh juga.

“Dari dinas kesehatan sudah beberapa kali menjumpai saya. Mereka mengambil data anaknya saya dan juga mengambil fotonya. Tapi hingga sekarang belum ada kabar dari mereka,”.

Hal serupa juga dikatakan oleh suaminya Efdi. Ia mengatakan bahwa ia pernah ditemui oleh petugas Dinas Kesehatan ditemani seorang perangkat desa yang bertugas di kebun miliknya. Tanpa permisi mereka langsung mengambil gambar anaknya RA dan lekas pergi.

“Gimana saya mau menghargai mereka. Mereka saja tidak menghargai saya. Tanpa ada basa-basi mereka mengambil foto anak saya. Apa anak saya hanya sebatas sampel saja untuk data mereka?,”kata Efdi.

Hatinya gusar. Kesal bercampur emosi mengingat kembali perlakuan yang diterima anaknya.Tangan Efdi bersendar diatas dinding papan setinggi 30cm itu. Ia menyulut sebatang rokok dan menghembusnya perlahan. Rambutnya yang sedikit beruban. Sorot matanya saat berbicara tampak menggebu-gebu. 

“Semua berkas yang diminta sudah kami kasih. Hingga kartu keluarga kami tak jelas letaknya dimana sekarang,” katanya dengan menunjuk anak keduanya, yang duduk bersila diatas sepeda motor butut miliknya. Sebab ia mengatakan terakhir kali anaknya yang menyerahkan berkas berupa kartu keluarga beberapa berkas pendukung lainnya.

Pola Komsumsi Belum Mencukupi

Ahli Gizi Bidang Pangan Dinas Pertanian Kabupaten Simeulue, Rahmat Hidayat. Ia mengatakan ada beberapa faktor penyebab seorang anak dapat terkena gizi buruk dan kurang gizi. Secara klinis, ia mengatakan penyebab terjadinya gizi buruk dan kurang gizi terjadi karena asupan makanan dan protein sehari-hari yang dikomsumsi anak kurang. Selain itu, pola konsumsinya juga sangat berpengaruh pada tumbuh kembang anak.

Selain pola komsumsi, pengetahuan, budaya, ekonomi dan konflik bisa juga menajdi penyebab anak kekurangan gizi dan terkena gizi buruk. Konflik yang dimaksud disini, ketika orang tua anak bertngkar dirumah, bisa jadi anak tersebut tidak mendapat makanan.

“ketika orang tua bertengkar, dan anak bisa jadi tidak mendapat asupan makanan yang baik. Atau jika dilihat secara luas, seperti konflik antar daerah dan sebagainya,” kata Rahmat, kepada dialeksis.com Senin (3/2/2020).

“saat anak yang menderita kurang gizi, jika tidak ada penangan yang tepat bisa jadi anak tersebut terkena gizi buruk,” tambahnya

Ada tiga penyebab anak kekurangan gizi yakni; penyebab langsung, penyebab tidak langsung dan penyebab mendasar. Untuk kabupaten simeulue sendiri penyebab anak kurang gizi ialah penyebab langsung. 

Kepala Dinas Kesehatan Simeulue, Asludin. Sepanjang 2019, anak yang menderita gizi buruk di Kabupaten Simeulue sendiri meningkat. Pada tahun 2017 ditemukan 8 kasus anak menderita gizi buruk, 2018 ada 5 kasus dan di tahun 2019 menigkat menjadi 15 kasus kasus.

Di Kecamatan Simeulue Timur ada dua kasus, Simeulue Tengah dua orang, Teupah Barat lima kasus, Teluk Dalam dua kasus, Salang dua kasus, dan Kematan Simeulue Barat ada satu kasus anak menderita gizi buruk.

Ia mengatakan ada beberapa faktor penyebab anak menderita gizi buruk. Faktor ekonomi keluarga yang tidak mencukupi, ketidaktahuan orang tua terhadap pemahaman mengenai persiapan apa saja yang harus dilakukan ketika ibu hendak melahirkan.

“ketika keluarga mampu baik dari segi ekonomi ataupun ia paham menyangkut asupan gizi yang baik, tentu hal seperti ini tidak terjadi,”kata Asludin, kepada dialeksis.com, Kamis (30/1/2020).

Sejauh ini Dinas Kesehatan telah memberikan penyeluhan terkait bagaimana mencegah gizi buruk dan juga memberi makanan tambahan untuk kecukupan gizi anak. Ia juga mengatakan, untuk tenaga Ahli Gizi di Simeulue saat ini sudah bertambah. Setidaknya ada 35 orang ahli gizi yang telah ditempatkan di 14 Puskesmas di Simeulue.

“tenaga Ahli Gizi allhamdulillah sudah bertambah. Yang dulunya di Simeulue cuma ada lima orang tenaga Ahli Gizi sekarang sudah 35 orang,” katanya.

Selain masalah gizi buruk dan kekurangan gizi, saat ini yang menjadi skala prioritas mereka ialah Stunting. Dari 1000 hari pertama pasca melahirkan, mereka mengawal ketat tumbuh kembang anak. Karena jika tidak dikawal, ia mengatakan ditakutkan anak nanti kekurangan gizi dan kekurangan nutrisi.

“jumlah sasaran kita dari 6714 anak di Simeulue, 1412 anak stunting,” sebutnya.

Sementara untuk capaian imunisasi di Simeulue sendiri di angka 64 persen. Dengan Kecamatan Alafan 97 persen, Luan Balu 90 persen, Simeulue Barat 88 persen, Sanggiran 73 persen, Teluk Dalam 70 persen, Salang 69 persen, Kuala Makmur 64 persen, Simeulue Tengah 63 persen, Teupah Selatan 62 persen, Lamerem 61 persen, Teupah 59 persen, Simeulue Timur 47 persen dan Simeulue Cut 32 persen.

Harapan 

Suriati lekas berpindah tempat ke dekat suaminya yang berada di gubuk. Anaknya RA masih sibuk dengan ranting yang sedari tadi ia pegang. Mereka tinggal di gubuk kebun miliknya sejak enam bulan terakhir. Mereka memang memiliki rumah di Desa. Akan tetapi kini mereka lebih memilih tinggal di gubuk, karena takut hasil kebun mereka akan dirusak oleh hama Babi/Monyet.

Efdi tak punya pekerjaan tetap. Ia hanya seorang petani yang terkadang turun kelaut untuk mencari gurita. Pendatannya tak menentu. Kadang ada kadang tidak. Ia dan istrinya Suriati hanya berharap kesembuhan yang terbaik untuk anaknya RA. Mereka sangat ingin melihat tumbuh seperti anak normal lainnya. 

“Saya ingin anak saya sembuh dan bisa bersekolah seperti teman sebayahnya. Anak saya jangan hanya dijadikan sampel untuk data saja. Tapi pergerakan untuk penyembuhan juga,” harapnya.

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda