kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Matinya Gajah di Aceh Timur, Walhi Aceh: Pertegas Penegakan Hukum

Matinya Gajah di Aceh Timur, Walhi Aceh: Pertegas Penegakan Hukum

Selasa, 03 Mei 2022 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : fatur

Nasir Buloh, Deputi Direktur Walhi Aceh. [Foto: Dialeksis/ftr]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Matinya gajah di Aceh Timur beberapa waktu lalu menjadi sebuah perhatian khusus bagi masyarakat secara luas. Matinya gajah tersebut di indikasikan karena bekas jeratan pada kakinya.

Nasir Buloh, Deputi Direktur Walhi Aceh mengatakan, dari kacamata Walhi persoalan konflik satwa ini dilatar belakangi dalam pengelolaan tata ruang yang tidak sesuai dengan fakta lapangan.

“Konflik satwa inikan terus terjadi disetiap daerah, dikarenakan pengelolaan tata ruang yang tidak baik di daerah dan level provinsi,” ucapnya kepada Dialeksis.com, Selasa (2/5/2022).

Seharusnya, kata Nasir, dalam hal ini pemegang izin HGU atau pihak perusahaan harus bertanggung jawab atas kematian gajah tersebut karena matinya gajah itu masuk dalam kawasan HGU.

“Secara konteks hukum, pihak perusahaan harus dimintai pertanggung jawaban, karena matinya gajah itu masuk dalam kawasan HGU perusahaan,” tukasnya.

Sebelumnya, ada 3 harimau sumatera mati di kawasan HGU di Aceh Timur, kemudian tak lama selang dari matinya 3 harimau itu, telah ditemukan 1 ekor gajah dengan kelamin jantan mati juga di kawasan Aceh Timur.

Menurut Nasir, efek hukum yang diterapkan selama ini masih tidak memberikan efek jera kepada pelaku-pelaku yang memburu satwa liar atau dilindungi.

“Secara hukum yang diberikan itu seperti biasa saja, tak memberikan efek jera sama sekali, dan ini menjadi presiden buruk terhadap satwa dilindungi,” tegasnya.

Apa yang harusnya dilakukan saat ini, Nasir menjelaskan, mempertegas penerapan hukum terhadap pemburuan satwa liar dan yang paling utama adalah mengungkap aktor dari pemburuan ini.

“Misalkan gajah, berarti ada pasar gading gajah, atau misalkan harimau, berarti ada pasar penjualan atau transaksi kulit harimau, aktor dibalik ini semua yang harus diungkap,” jelasnya.

Kemudian, kata Nasir, pendidikan kepada masyarakat juga harus diperkuat. “Masyarakat ini murni pasang jerat untuk hama babi misalnya, namun masyarakat ini tidak tahu kalau ada hewan lain yang bisa saja terkena jerat tersebut, dalam penegakan hukum biasa orang/orang seperti ini yang terkena dalam penegakan hukum,” sebutnya.

Namun kata Nasir, ada juga penggunaan jerat ini sebagai modus. “Modus dalam memburu satwa-satwa liar tersebut,” tambahnya.

Walhi Aceh mendesak adanya perbaikan tata ruang dalam pengelolaan kawasan perkebunan dan kawasan konservasi.

Kemudian, penegasan dalam penegakan hukum terhadap dalam pemburuan satwa liat dan juga harus dimintai pertanggung jawaban bagi pemilik izin HGU perusahaan.

Selanjutnya, yang paling penting adalah upaya penegakan yang diterapkan oleh APH, BKSDA harus benar-benar menjadi efek jera.

“Walhi Acehjuga mendesak pemerintah daerah, Provinsi, ataupun lembaga-lembaga berwenang terkait konservasi harus memberikan edukasi lebih luas lagi bagi masyarakat terutama dalam edukasi terhadap satwa liar dan dilindungi, dan juga bagaimana cara membasmi hama babi, dan bagaimana cara menghalau satwa-satwa liar ini masuk dalam kawasan perkebunan masyarakat,” pungkas Nasir. [ftr]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda