Sabtu, 02 Agustus 2025
Beranda / Berita / Aceh / Maraknya Kasus Narkoba di Aceh, Dosen Unsyiah: Gejala Sosial yang Tak Bisa Dibiarkan

Maraknya Kasus Narkoba di Aceh, Dosen Unsyiah: Gejala Sosial yang Tak Bisa Dibiarkan

Kamis, 31 Juli 2025 20:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala, Firdaus Mirza Nusuary. Foto: doc Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Aceh - Fenomena meningkatnya kasus peredaran dan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Aceh kembali menjadi sorotan publik. Tak hanya mengancam generasi muda, kondisi ini dinilai sebagai pertanda kuat adanya gejala sosial yang kian memburuk di tengah masyarakat. Dalam kacamata sosiologis, peredaran narkotika bukan hanya persoalan hukum, melainkan cermin dari krisis sosial yang mendalam.

Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala, Firdaus Mirza Nusuary, menilai bahwa maraknya kasus narkoba di Aceh saat ini harus dilihat sebagai bentuk kegagalan kolektif dalam membangun sistem sosial yang sehat. Menurutnya, ada sejumlah faktor yang menjadi pendorong meningkatnya praktik peredaran maupun konsumsi narkoba, mulai dari krisis identitas, lemahnya kontrol sosial, hingga minimnya ruang-ruang ekspresi positif bagi anak muda.

“Penyalahgunaan narkoba tidak berdiri sendiri. Ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, tetapi lebih dalam, merupakan manifestasi dari problem sosial yang tak terselesaikan,” ungkap Firdaus saat diwawancarai Dialeksis, Kamis (31/7/2025).

Firdaus menjelaskan, dalam struktur masyarakat yang sehat, terdapat sistem nilai dan norma yang mampu mengontrol perilaku warganya. Namun, saat sistem itu melemah, individu menjadi lebih rentan terhadap pengaruh destruktif seperti narkoba.

“Ketika keluarga, sekolah, dan komunitas kehilangan fungsinya sebagai agen sosialisasi dan kontrol sosial, maka individu terutama remaja akan mencari pelarian, dan narkoba menjadi salah satu alternatif yang dianggap cepat dan instan,” jelas Firdaus.

Ia menambahkan, Aceh sebagai wilayah yang dikenal religius dan menjunjung tinggi nilai adat-istiadat, justru sedang mengalami krisis dalam internalisasi nilai-nilai tersebut. “Kita sering terjebak pada simbol, tapi lupa pada substansi. Nilai-nilai keislaman dan kearifan lokal tidak cukup jika hanya menjadi slogan, harus betul-betul hidup dalam praktik keseharian masyarakat,” tegasnya.

Firdaus juga menyoroti aspek struktural yang ikut memperparah kondisi ini. Ketimpangan sosial, tingginya angka pengangguran, serta terbatasnya akses terhadap pendidikan berkualitas menjadi akar persoalan yang belum ditangani serius.

“Banyak pemuda Aceh yang kehilangan harapan. Tidak punya pekerjaan tetap, tidak punya akses ke pendidikan tinggi, sementara gaya hidup konsumtif terus dipertontonkan di media sosial. Dalam situasi itu, narkoba bisa menjadi bentuk pelarian dari tekanan dan frustrasi,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa fenomena ini adalah persoalan multidimensional yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan penegakan hukum semata. “Polisi bisa menangkap pengedar dan pengguna, tapi kalau akar sosialnya tidak disentuh, kasus serupa akan terus berulang,” katanya.

Sebagai solusi, Firdaus menyerukan perlunya pendekatan yang lebih humanistik dan berbasis komunitas dalam menangani persoalan narkoba. Pemerintah daerah, tokoh adat, tokoh agama, hingga akademisi harus dilibatkan dalam membangun kesadaran kolektif untuk menciptakan ekosistem sosial yang sehat dan resilien.

“Pendidikan karakter harus menjadi prioritas. Kita perlu membangun kembali ruang-ruang kolektif yang sehat, seperti sanggar, komunitas kreatif, dan forum remaja. Jangan biarkan generasi muda kita tumbuh dalam kekosongan nilai,” ujar Firdaus.

Ia juga menyarankan agar program-program pencegahan narkoba tidak hanya bersifat seremonial, melainkan menyentuh aspek substansial dan partisipatif.

“Jika ingin serius menangani persoalan narkoba di Aceh, maka kita perlu berani meninjau ulang strategi sosial kita. Apakah cukup memberi ceramah dan razia, atau sudah saatnya membangun solidaritas sosial yang sejati,” tutup Firdaus Mirza Nusuary.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
hari lahir pancasila