Makna Isra Mi’raj: Antara Kewajiban Sholat dan Penghiburan Ilahi
Font: Ukuran: - +
Reporter : Arn
Baiquni Hasbi, M.A., Ph.D., dosen IAIN Lhokseumawe. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Lhokseumawe - Umat Muslim di seluruh dunia saat ini memperingati peristiwa agung dalam sejarah Islam, yaitu Isra Mi’raj. Peringatan ini jatuh setiap tanggal 27 Rajab dalam kalender Hijriah, sebuah malam penuh makna yang menjadi momen spiritual bagi umat Islam.
Isra Mi’raj adalah perjalanan luar biasa Nabi Muhammad SAW yang terjadi dalam dua fase. Isra merupakan perjalanan beliau dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsa di Yerusalem. Sementara Mi’raj adalah perjalanan beliau naik ke Sidratul Muntaha, langit tertinggi, untuk menerima perintah langsung dari Allah SWT mengenai kewajiban sholat lima waktu.
Menurut kitab Dardir Bainama (Qisah Isra Mi’raj) karya Syaikh Najmuddin Al-Ghaiti, peristiwa ini terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun ke-11 kenabian. Setelah kalender Hijriah ditetapkan, tanggal tersebut menjadi momen tahunan yang diperingati umat Islam sebagai malam penuh keberkahan.
Lapisan Makna Isra Mi’raj
Meski sering dikaitkan dengan kewajiban sholat, Isra Mi’raj memiliki lapisan makna yang lebih dalam. Baiquni Hasbi, M.A., Ph.D., dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe, menjelaskan bahwa peristiwa ini juga mencerminkan sisi emosional dan kerentanan manusia.
“Isra Mi’raj bukan hanya tentang kewajiban ibadah, tetapi juga menyimpan pesan penghiburan ilahi bagi Nabi Muhammad SAW pada salah satu masa tersulit dalam hidupnya,” ungkapnya saat dihubungi Dialeksis.com, Selasa (28/1/2025).
Ia melanjutkan menjelaskan, peristiwa Isra Mi’raj terjadi setelah wafatnya Khadijah binti Khuwailid, istri pertama Nabi Muhammad SAW. Khadijah adalah pendukung utama Nabi selama lebih dari 20 tahun, baik dalam suka maupun duka. Kehilangan Khadijah menjadi pukulan berat bagi Nabi, hingga momen ini dikenal dalam sejarah Islam sebagai "Tahun Kesedihan."
Penghiburan Ilahi di Tengah Kesedihan
Masih menurut Baiquni, Khadijah merupakan sosok yang sering diibaratkan sebagai perwujudan cinta Allah SWT. Di saat-saat keraguan, dialah yang menguatkan Nabi dengan penuh keyakinan, mengingatkannya bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan beliau. Kata-kata penghiburannya kerap menjadi penopang utama Nabi Muhammad SAW di masa awal dakwah.
“Di tengah kesedihan yang mendalam atas kehilangan Khadijah, Allah SWT memanggil Nabi Muhammad SAW untuk bertemu langsung dengan-Nya. Perjalanan Isra Mi’raj ini menjadi momen penghiburan sekaligus penguatan spiritual bagi Rasulullah,” tambah Baiquni.
Isra Mi’raj menjadi simbol bahwa kesedihan adalah bagian dari sifat manusia, namun Allah selalu hadir memberikan penghiburan. Selain menetapkan sholat lima waktu sebagai kewajiban, peristiwa ini juga menyampaikan pesan bahwa Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya di masa-masa sulit.
“Peristiwa ini mengajarkan kita bahwa di balik cobaan yang berat, ada penghiburan dan kasih sayang Allah yang selalu menyertai. Allahumma shalli ‘ala Muhammad,” tutup Baiquni. [Ar]