Beranda / Berita / Aceh / Mahasiswa Aceh Mulai Mati Kutu, Nalar Berpikir Kritis Dipertanyakan

Mahasiswa Aceh Mulai Mati Kutu, Nalar Berpikir Kritis Dipertanyakan

Minggu, 27 Maret 2022 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Akhyar

Foto: Ist


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Berdasarkan pantauan, Gerakan Masyarakat Sipil di Aceh terutama dari kalangan mahasiswa seolah sedang cooling down. Para mahasiswa mulai tampak kurang kritis dalam memahami isu terkini, terutama isu-isu yang berkembang di lokal.

Respons terhadap isu yang berkembang, para mahasiswa seperti dihadapkan dengan guntur. Seolah tak siap menghadapi isu terkini. Semisal seperti saat kasus penghentian Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) didengungkan, mahasiswa cenderung ikut-ikutan merespons dengan tempo senada tanpa ada kajian yang komprehensif.

Ibaratnya, di saat terdapat pemantik dari luar baru para mahasiswa mulai terbakar jiwa. Sehingga, gerakan-gerakan yang datang dari mahasiswa seolah tidak lagi diinisiasi dengan hasil kajian yang mandiri.

Mantan Presiden Mahasiswa Universitas Islam Negeri Ar-Raniry (UINAR) Banda Aceh periode 2019-2020 Reza Hendra Putra juga menyatakan hal serupa. Menurutnya, kondisi mahasiswa sekarang secara intelektual sudah mulai tumpul dan daya pikir kritis mulai dipertanyakan.

Bukan tanpa alasan jika Reza menyatakan demikian. Karena berdasarkan pemantauannya, ruang diskusi publik antara para mahasiswa, masyarakat dan aktivis mulai kendur. Terpisah-pisah dengan kelasnya masing-masing.

“Katakanlah misal isu JKA kemarin. Para mahasiswa ini kurang update terhadap isu tersebut. Sehingga ketika ada orang lain yang memantik, baru ‘gabuk.’ Tapi di jauh-jauh hari, belum ada prioritas yang mereka diskusikan. Tidak ada pembenahan secara terstruktur. After kejadian baru dibahas sehingga sudah basi atau tidak ada lagi nilai penting untuk disampaikan,” ujar Reza kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Minggu (27/3/2022).

Kata Reza, sebenarnya para mahasiswa wajib sedia dengan segala isu terkini. Oleh sebab itu, agar kesediaannya itu tercukupi, kajian-kajian, pembicaraan, serta ruang diskusi mesti rajin dilakukan.

Bukan Hanya dari Mahasiswa, Tapi Lintas Sektor

Mantan Presma UINAR Banda Aceh itu juga menyatakan, hilangnya daya pikir kritis dari para mahasiswa tidak hanya disebabkan oleh para mahasiswanya tersendiri. Melainkan multi-sektoral yang melibatkan pihak internal, eksternal dan lingkungan.

Semisal, jelas dia, dengan kondisi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang mengharuskan mahasiswa masuk kuliah secara daring (online). Hal ini juga bisa dikategorikan masuk ke dalam pengaruh mengapa para mahasiswa kurang memiliki nalar berpikir kritis saat ini.

Di sisi lain, Reza juga menyatakan matinya gerakan masyarakat sipil dari mahasiswa juga disebabkan oleh pemerintah, baik itu disengaja maupun tidak. Semisal dengan hadirnya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang secara langsung menimbulkan kegelisahan ke para aktivis muda itu.

“Tidak seratus persen matinya nalar berpikir kritis disebabkan oleh mahasiswa. Kalau kita lihat, ada juga pihak-pihak lain yang secara struktural mengatur agar bagaimana kritikan yang masuk ke pemerintah itu didesain tidak terlalu banyak. Menurut saya, perkara ini lintas sektor,” tuturnya.

Sementara itu, Reza menyatakan, diamnya para mahasiswa dengan aktivis yang dicoba bungkam oleh penguasa dengan cara dipenjara seolah tidak lagi menunjukkan identitas mahasiswa untuk kepentingan rakyat.

Reza menegaskan, sikap apatis, acuh tak acuh para mahasiswa di tengah keadaan darurat dengan banyaknya isu pembungkaman aktivis bukanlah apa yang diharapkan dari mahasiswa sekarang. 

Menurutnya, mahasiswa harus peduli dengan segala isu berkembang, harus pandai mengubah pola, mendesain gerakan civil society baru untuk kemaslahatan bersama.

“Bercermin pada kasus Haris Azhar. Itu dari kalangan mahasiswa tidak terlalu menggubris. Padahal ini adalah bagian dari tugas kita para mahasiswa,” tegas Mantan Presma UINAR Banda Aceh itu.

Menguatkan Gerakan Civil Society

Menurut Reza, jalan tempuh untuk menguatkan gerakan masyarakat sipil dari kalangan mahasiswa Aceh ialah dengan cara melebur bersama. Dalam artian para mahasiswa tidak boleh mengklasterkan atau mengelompokkan kelasnya.

Padahal, kata Reza, di Aceh cukup banyak berdiri kelompok LSM di bidang masing-masing. Semisal pada isu lingkungan ada WALHI, pada persoalan anggaran ada MaTA. “Namun, dari kalangan mahasiswa cukup jarang ada yang berdiskusi atau bertukar pikiran dengan kelompok-kelompok LSM ini,” ungkap Reza.

Justeru, tambah Reza lagi, para mahasiswa seolah mengunci diri sendiri dengan membatasi diri di kelasnya sebagai mahasiswa tanpa mau diganggu dan berbaur dengan yang lain. Para mahasiswa harus melebur dengan semua elemen masyarakat.

Reza menyatakan, peleburan dengan semua elemen masyarakat sangat dibutuhkan agar para mahasiswa mendapat wadah pada pembahasan yang komprehensif dan tolak ukur yang jelas terhadap perkembangan isu.

Parahnya sekarang, kata Reza, banyak diskusi yang diinisiasi oleh mahasiswa tidak memiliki output dan tolak ukur yang jelas. “Hal-hal seperti ini yang saya lihat banyak bermunculan, sehingga nalar berpikir mulai tumpul di kalangan mahasiswa,” tutup Mantan Presma UINAR Banda Aceh Reza Hendra Putra.(Akhyar)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda