kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Lem Faisal: Pemerintah Tidak Serius Menempatkan MUI Sebagai Lembaga Terhormat

Lem Faisal: Pemerintah Tidak Serius Menempatkan MUI Sebagai Lembaga Terhormat

Sabtu, 25 Juli 2020 16:05 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Indra Wijaya

Wakil Ketua I Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tgk. H. Faisal Ali 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Wakil Ketua I Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tgk. H. Faisal Ali menilai pemerintah tidak serius dalam menempatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga terhormat.

Menurut pria yang akrab disapa Lem Faisal, pada satu sisi pemerintah membiarkan MUI berjalan dengan sendirinya, sehingga membuat pemerintah tampak jauh dengan MUI.

"MUI tidak ada struktur yang baku, tidak peraturan presiden (Perpres), tidak seperti lembaga lainnya yang ada aturannya. Kenapa, karena pemerintah tidak serius membiarkan MUI bebas dengan sebebas-bebasnya," kata Lem Faisal kepada dialeksis.com.

Ia merasa peran MUI tidak sampai kepada lembaga pemerintah. Namun, peran MUI itu sendiri sangat diminta oleh pemerintah. Pemerintah harus memandang MUI sebagai lembaga mitra dengan tetap menjaga independensi MUI sebagai lembaga keislaman.

“Saran saya, pemerintah itu harus masuk dan tingkatkan status MUI pusat sebagai lembaga pemerintah," ujar Pimpinan Dayah Mahyal 'Ulum Al Aziziyah.

Saat ditanya dialeksis.com apa boleh ketua MUI itu mempunyai relasi politik. Ia mengatakan tu tidak masalah, yang terpenting ahli agama dan memiliki kapasitas kepemimpinan serta memiliki jaringan kuat. 

Menurut Lem Faisal, sosok Ketua MUI harus mampu menjalankan roda kelembagaan secara visi dan misi maupun program yang jelas dan pasti. 

"Dalam statuta MUI itu strukturnya tidak baku, karena dia tidak mempunyai aturan yang baku secara peraturan yang mengaturnya kepastian struktur baku di internal MUI itu sendiri. Kalau bisa diperkecil. Wakil sekretarisnya berapa orang, jangan terlalu banyak. Organisasi MUI itu apa. Kalau bisa disepakati diatur," ujarnya.

Ia menafsirkan MUI ibarat "sawah lebar”, musyawarah ke depan muncul lagi ide dan berjalan terus seperti itu. 

"Ini saya bilang sebagai sinyal masuk. Inikan bukan lembaga pemerintah, dan dia tidak diakui oleh pemerintah, timbul dengan sendirinya. Maka terkesan jauh dengan MUI," katanya.

Menurut Lem Faisal, siapa pun yang terpilih ketua MUI baik itu dari kader NU atau dari Muhammadiyah, yang diperlukan mampu menata organisasi MUI secara internal dengan seluruh kelemahan di dalamnya agar MUI lebih baik lagi ke depannya. Penataannya terletak pada prosedur dan aturan baku yang mengatur secara komperhensif baik di struktur, relasi pemerintah, anggaran, sumber daya manusianya.

 "Salah satu kelemahannya seperti posisi KH. Makruf Amin perlu diperjelas apakah beliau bisa merangkap antara Wapres dengan MUi begitu. Seharusnya belajar seperti di NU, pada waktu itu KH. Makruf Amin sebagai ketua NU lantas karena keinginan maju, maka dirinya wajib mundur sebagai ketua NU. Artinya beliau taat aturan dan azas yang melekat secara keorganisasi di NU yang diatur secara internal”, tegasnya.

Selain itu kata Lem Faisal, soal anggaran terkesan tidak peduli, MUI hanya dialokasi dengan sangat kecil, jika lembaga MUI sebagai mitra strategis sekaligus penting maka sudah seharusnya pemerintah mengalokasikan anggaran MUI lebih besar agar menjalankan fungsi dan peran yang melekat maksimal dilakukan. Itu terjadi karena MUI bukan lembaga yang resmi masuk dalam struktur di kepemerintahan atau lembaga resmi pemerintah bukan masukan ke organisasi kemasyarakatan.

"MUI itu kecil kali dalam aturan pemerintah. Hanya nama saja MUI. Kantornya saja kecil. Nggak punya kewenangan. Cuma nama saja yang hebat. Pemerintah mengakui tapi hanya sebatas menghargai dengan layak saja,"pungkas mantan Sekertaris Jenderal Rabithah Thaliban Aceh.(IDW)

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda