Beranda / Berita / Aceh / LBH: Pelaku Oral Seks Harus Dihukum Menggunakan UU Perlindungan Anak, Bukan Jinayat

LBH: Pelaku Oral Seks Harus Dihukum Menggunakan UU Perlindungan Anak, Bukan Jinayat

Sabtu, 13 Juli 2019 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Syahrul, Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh. [FOTO: IST]

DIALEKSIS.COM | Aceh Utara - Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI-LBH) Banda Aceh Syahrul SH MH meminta aparat penegak hukum memberikan sanksi kepada pelaku menggunakan UU Perlindungan Anak, bukan Qanun Jinayat. 

Syahrul menyebutkan, kasus asusila di Lhokseumawe yang menimpa 15 santri, penegak hukum harus menggunakan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak bukan dengan menggunakan Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

"Kita membaca dan mengikuti pernyataan Kapolres Lhokseumawe di beberapa media, menyebutkan pelaku diancam dengan Pasal 47 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat," sebut Syahrul dalam keterangan tertulisnya kepada Dialeksis.com, Jumat (12/7/2019).

Dia menjelaskan, pasal 47 Qanun Jinayah untuk menghukum pelaku pelecehan seksual yang korbannya secara umum. Menurutnya pasal ini tidak serta-merta bisa dilekatkan kepada pelaku seksual yang korbannya anak-anak.

Jika kemudian kasus ini benar-benar dikenakan qanun jinayah, maka diduga ada mis pemahaman aparat penegak hukum terhadap aturan yang berlaku. Apalagi negara ini telah sepakat bahwa kejahatan terhadap anak adalah kejahatan extra ordinary crime.

Karena itu, jelas Syahrul, dilahirkanlah aturan khusus untuk melindungi anak melalui UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang saat ini telah dua kali berubah. Bahkan pada perubahan pertama, UU ini telah memasukkan unsur perlindungan anak dalam lingkungan pendidikan.

"Jika kasus ini ditangani dengan UU Perlindungan Anak, maka hukuman yang akan diterima pelaku bisa 15 tahun penjara dan dendanya juga lebih besar," terang Syahrul.

Ia berharap pihak kepolisian yang menangani kasus anak, memiliki pemahaman yang sama terhadap penerapan hukum kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak, yaitu harus berkacamata pada UU Perlindungan Anak.

Perbuatan asusila itu telah mencoreng dunia perlindungan terhadap anak, apalagi pelakunya pendidik ilmu agama.

Para pelaku tidak hanya mengotori moralnya sebagai manusia, tetapi juga telah menghina agama sebagai pendidik dan itu terjadi di daerah yang dikenal sebagai Serambi Mekkah, daerah yang nilai nilai agamanya masih sangat kental.

"Kita mengapresiasi aparat kepolisian cepat dan sigap dalam bertindak atas laporan orang tua korban untuk menangkap kedua pelaku," pungkas Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh.(faj)

Keyword:


Editor :
Makmur Emnur

riset-JSI
Komentar Anda