Selasa, 22 Juli 2025
Beranda / Berita / Aceh / Kursi Dewas RSUD Meuraxa Dipertanyakan, Illiza Diminta Batalkan Indra Milwady

Kursi Dewas RSUD Meuraxa Dipertanyakan, Illiza Diminta Batalkan Indra Milwady

Selasa, 22 Juli 2025 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Dr. Nasrul Zaman, pengamat kebijakan publik sekaligus dosen Universitas Syiah Kuala. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Keputusan Walikota Banda Aceh melantik Indra sebagai anggota Dewan Pengawas Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Meuraxa menyulut kontroversi publik. Di tengah sorotan terhadap kasus etik Pemilu yang masih bergulir, penunjukan ini dipandang tidak mencerminkan semangat reformasi birokrasi dan transparansi pengelolaan pelayanan publik.

Indra bukan sosok asing dalam Pilkada Banda Aceh 2024. Ia menjabat sebagai Ketua Panwaslu Kota saat kasus dugaan politik uang senilai Rp18 juta mencuat. Operasi tangkap tangan dilakukan di sebuah warung kopi, hanya sehari menjelang pencoblosan. Beberapa orang diamankan dengan uang tunai dalam genggaman. Namun, kasus itu seperti hilang ditelan waktu. Tidak ada penuntasan, tak pula ada kejelasan.

Kini, kasus tersebut sedang diproses oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Jakarta. Namun sebelum hasil etik keluar, publik dikejutkan dengan pelantikan Indra oleh Walikota Banda Aceh ke kursi strategis Dewas RSUD Meuraxa salah satu lembaga kesehatan vital di ibu kota Provinsi Aceh.

Yang menjadi sorotan tajam bukan hanya proses pengangkatannya, tapi juga latar belakang Indra Milwady yang dinilai tidak memiliki kompetensi di bidang kesehatan atau manajemen rumah sakit.

"Pengangkatan jabatan strategis seperti Dewan Pengawas rumah sakit idealnya berdasarkan pada kompetensi dan rekam jejak profesional, bukan karena kedekatan politik,” ujar Dr. Nasrul Zaman, pengamat kebijakan publik sekaligus dosen Universitas Syiah Kuala kepada Dialeksis.com saat dihubungi, Selasa (22/7/2025).

Menurutnya, jabatan publik seharusnya dikelola secara profesional untuk menjamin mutu pelayanan kepada masyarakat. “Kalau orang yang ditempatkan tidak paham substansi, pengawasan tidak akan berjalan. Justru itu akan menjadi beban, bukan solusi,” sambungnya.

Dr. Nasrul Zaman juga mengingatkan bahwa jabatan seperti Dewan Pengawas memiliki fungsi kontrol yang krusial dalam sistem manajemen rumah sakit. “Itu bukan jabatan simbolik. Ini tentang pelayanan, tentang nyawa manusia,” tegasnya.

Selain persoalan kompetensi, pelantikan ini juga dilingkupi dugaan pelanggaran administratif. Sumber internal menyebut, besaran honorarium yang ditetapkan untuk Dewan Pengawas RSUD Meuraxa diduga melampaui ketentuan yang diatur oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Jika benar, hal ini berpotensi menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau BPKP.

“Kalau honor tidak sesuai aturan, itu masuk kategori penggunaan anggaran tidak sah. Bisa diperiksa auditor dan berujung pada sanksi administratif atau pidana,” jelasnya lagi.

Publik pun mulai mengaitkan pelantikan Indra dengan praktik politik balas jasa. Indra dianggap berjasa atau setidaknya 'loyal' dalam proses Pilkada lalu, di mana sejumlah pihak menduga kasus dugaan politik uang sengaja diredam untuk menghindari keributan politik menjelang pemilihan.

"Jika benar ini bentuk balas budi, maka sangat berbahaya bagi demokrasi lokal. Kita tidak bisa membiarkan jabatan publik dijadikan komoditas pasca-Pilkada,” kata Dr. Nasrul Zaman.

Ia menegaskan bahwa praktik semacam itu hanya akan menjauhkan masyarakat dari kepercayaan terhadap pemerintahan yang seharusnya berlandaskan meritokrasi dan etika pelayanan publik.

Sejumlah tokoh sipil dan akademisi menyerukan agar Walikota Banda Aceh membatalkan pelantikan tersebut. Desakan ini bukan semata karena sosok Indra, tetapi karena proses dan dasar pengangkatannya yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.

“Walikota punya peluang membuktikan komitmen terhadap good governance. Evaluasi dan pembatalan pelantikan ini justru akan memperlihatkan keberpihakan kepada kepentingan publik, bukan kelompok politik,” ujar Nasrul Zaman lagi.

Ia mengingatkan, jika langkah korektif tidak segera diambil, kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan publik akan terus terkikis. “Bukan hanya soal rumah sakit, tapi ini menjadi barometer bagaimana pemerintahan melihat rakyatnya: sebagai mitra atau hanya objek pengaturan,” katanya.

Kini bola berada di tangan Walikota Banda Aceh. Apakah ia akan mempertahankan keputusan kontroversial ini atau memilih untuk menarik diri dari pusaran konflik kepentingan? Jawaban atas pertanyaan itu akan menjadi indikator utama arah kepemimpinannya ke depan.

Di tengah sorotan publik dan evaluasi atas kinerja birokrasi pasca-Pilkada, keputusan ini bisa menjadi tonggak pembenahan atau malah menambah daftar panjang ketidakpercayaan publik terhadap pemerintahan kota.

“Jangan sampai publik menganggap Banda Aceh telah kembali ke pola lama -- pola kekuasaan yang ditukar dengan loyalitas, bukan kompetensi. Ini bukan era feodalisme birokrasi. Ini zaman keterbukaan,” tutup Dr. Nasrul Zaman. [arn]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI