kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Kurangnya Tanda Larangan, Pelanggaran Kawasan Tanpa Rokok di Banda Aceh Masih Banyak

Kurangnya Tanda Larangan, Pelanggaran Kawasan Tanpa Rokok di Banda Aceh Masih Banyak

Jum`at, 01 November 2024 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Wini Dian Saftri, Manager Program The Aceh Institute. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dalam upaya memperkuat implementasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Banda Aceh, Wini Dian Saftri, Manager Program The Aceh Institute, menyoroti pentingnya edukasi publik dan dukungan pemerintah dalam menegakkan aturan ini. 

Menurut Wini, meskipun regulasi telah ada, sosialisasi masih minim, yang berdampak pada rendahnya kepatuhan terhadap KTR di berbagai tempat umum.

Wini menyatakan bahwa pihaknya telah mengembangkan aplikasi pengaduan untuk melaporkan pelanggaran KTR di Banda Aceh. Laporan yang masuk akan diteruskan ke pemerintah untuk validasi dan tindak lanjut. 

"Prosesnya melibatkan pembinaan kepada pelanggar terlebih dahulu. Jika pelanggaran terjadi berulang kali, sanksi perlu ditegakkan,” ujarnya.

Namun, Wini mengakui bahwa masih ada hambatan dalam proses sosialisasi ini, yang membuat masyarakat belum sepenuhnya memahami adanya peraturan KTR di Banda Aceh.

Menurut data terbaru, pelanggaran kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Banda Aceh masih tinggi dan bervariasi. 

Pelanggaran paling dominan adalah tidak adanya area khusus merokok di sejumlah lokasi, tercatat sebanyak 84 kejadian. Ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran atau kepatuhan untuk menyediakan ruang khusus bagi perokok.

Selain itu, pelanggaran berupa tidak adanya tanda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) juga cukup signifikan, dengan 53 kejadian tercatat. 

Tanpa adanya tanda larangan merokok, masyarakat yang berkunjung ke area tersebut tidak mendapat informasi yang jelas mengenai aturan merokok, sehingga meningkatkan potensi pelanggaran.

Pelanggaran lain yang juga ditemukan termasuk adanya pemantik atau korek api (31 kejadian) serta tercium bau asap rokok di lokasi (14 kejadian). 

Hal ini menekankan pentingnya penegakan yang lebih ketat terhadap kebijakan KTR. Selain itu, bukti lain yang ditemukan di lapangan adalah puntung rokok serta indikasi adanya sponsor, promosi, atau iklan rokok di beberapa tempat.

Melihat data ini, Aceh Institute menilai perlunya upaya sosialisasi dan penegakan hukum yang lebih intensif dari pemerintah daerah, agar setiap elemen masyarakat memahami dan mematuhi aturan KTR.

The Aceh Institute berperan sebagai lembaga advokasi dan riset, yang fokus pada peningkatan kepatuhan publik terhadap KTR. 

"Kami hanya bisa mengadvokasi dan mendorong pemerintah serta masyarakat untuk bersama-sama mengimplementasikan KTR dengan sinergi. Namun, kami tidak memiliki wewenang untuk menegakkan sanksi," tambahnya.

Hal ini menunjukkan pentingnya peran pemerintah dalam menindaklanjuti laporan pelanggaran.

Dalam tiga bulan terakhir, The Aceh Institute telah memantau sejumlah lokasi di Banda Aceh terkait penerapan KTR, dan hasilnya menunjukkan tingkat kepatuhan yang beragam. Beberapa kendala yang ditemukan adalah kurangnya area khusus untuk merokok serta minimnya tanda larangan merokok di tempat-tempat umum.

 “Ketika tidak ada tanda larangan, masyarakat cenderung tidak sadar akan aturan KTR di area tersebut, sehingga pelanggaran tetap terjadi,” jelas Wini.

Menurut Wini, salah satu tantangan utama dalam penegakan KTR di Banda Aceh adalah kurangnya sosialisasi serta kebijakan yang masih perlu diperkuat dengan kearifan lokal. 

“Kebijakan yang ada saat ini, yaitu Qanun KTR Nomor 5 Tahun 2016, masih cukup baru, namun sosialisasinya belum selesai dilakukan secara merata,” paparnya. 

Ia menambahkan bahwa diperlukan kajian akademik dan diskusi mendalam dengan masyarakat agar kebijakan ini bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman dan aspirasi lokal.

The Aceh Institute berencana menggelar focus group discussion (FGD) dan audiensi dengan berbagai pihak untuk meninjau kembali efektivitas Qanun KTR. 

“Bila diperlukan revisi, kita akan mempertimbangkan untuk memasukkan elemen-elemen baru yang relevan dengan situasi saat ini, termasuk kebijakan bagi warung kopi yang banyak bermunculan dan iklan rokok yang semakin menarik perhatian remaja,” ungkap Wini.

Terkait iklan rokok, ia mengakui bahwa industri tembakau kini semakin kreatif dalam menarik minat masyarakat, khususnya generasi muda. 

“Seiring dengan gencarnya kampanye KTR, mereka juga semakin gencar mengembangkan cara-cara baru, seperti memperkenalkan rokok dengan rasa buah atau tampilan yang menarik,” kata Wini.

The Aceh Institute juga mengapresiasi dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh yang mengajak media untuk turut aktif dalam mengkampanyekan KTR. 

Wini menyebut media sebagai ujung tombak dalam menyampaikan informasi mengenai kebijakan KTR kepada masyarakat luas. 

"Kami sangat berharap media dapat menjadi partner kami dalam mengadvokasi KTR. Informasi ini dapat disebarkan melalui media sosial, grup WhatsApp, atau langsung di lapangan,” ujarnya.

Wini menekankan pentingnya kolaborasi antara berbagai pihak dalam menciptakan lingkungan yang bebas asap rokok di Banda Aceh.

“Ini bukan hanya soal kesehatan individu, tetapi juga kepentingan banyak pihak, termasuk ibu hamil, anak kecil, dan kelompok rentan lainnya yang juga terpapar bahaya asap rokok di tempat umum,” ungkapnya. 

Selain itu, The Aceh Institute juga mendukung usulan DPRK untuk meninjau ulang Qanun KTR agar lebih sesuai dengan perkembangan dan kearifan lokal di Banda Aceh. 

“Namun, kami juga mengingatkan bahwa proses revisi kanun bukan hal yang sederhana. Ini membutuhkan kajian akademik, serta waktu untuk melibatkan banyak pihak dalam rangkaian diskusi panjang,” pungkas Wini.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda