Kupas Tuntas SE Pj Gubernur Aceh Batasi Ngopi Masyarakatnya
Font: Ukuran: - +
Reporter : Auliana Rizky
Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. H Syamsul Rijal
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki mengeluarkan Surat Edaran (SE) yang melarang warung kopi hingga cafe buka di atas jam 00.00 WIB. Larangan itu dibuat untuk menghindari terjadinya pelanggaran syariat Islam.
Larangan tersebut tertuang dalam Surat Edaran bernomor 451/11286 yang ditujukan ke bupati/walikota, kepala desa, ASN, dan masyarakat. SE itu memuat tentang Penguatan dan Peningkatan Pelaksanaan Syari'at Islam Bagi Aparatur Sipil Negara dan Masyarakat di Aceh. Ada sejumlah poin dalam SE itu, namun khusus warung kopi diatur dalam poin huruf d tentang pelaku usaha. Salah satu isinya meminta pelaku usaha memastikan tidak terjadinya pelanggaran syari'at Islam di tempat usaha.
Menanggapi SE tersebut, Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. H Syamsul Rijal mengatakan, sebenarnya transformasi nilai yang terkandung yang perlu dikaji kembali. Ia juga bingung karena surat edaran tersebut terdapat 20 butir poin, namun mengapa fokusnya malah pada warung kopi? Apakah karena kultur orang Aceh suka ngopi?
Kata Prof. Syamsul, fenomena ini bukan persoalan tutup warkop atau ngopi, tetapi terdapat hal lain di dalamnya. Bahkan, walikota juga sudah melakukan monitor pada titik-titik tertentu. Permasahannya, ketika ini berlaku, ada banyak prokontra yang terjadi, terutama soal budaya. Ngopi ini budayanya orang Aceh, dua tahun vakum karena pandemi Covid-19, ekonomi masyarakat anjlok sampai ke dasarnya, sekarang mereka disuruh tutup lagi.
Jadi, terdapat permasahan budaya dan ekonomi di dalamnya, ini harus benar-benar dipilah-pilah tafsirannya. Menjadi pertanyaan besar juga, apa bisa terlaksana bahwa warkop Provinsi Aceh itu tutup? Lalu bagaimana dengan muslim yang musafir, perlu diketahui mereka transit di beberapa warkop saat tengah malam, jadi ada hak masyarakat selain pedagang di dalamnya.
Kemudian, berbicara patroli terkait penyimpangan-penyimpangan syariat Islam di Aceh bahwa setahun terakhir jarang dilihat. Jadi, tidak bisa disalahkan pelaku usaha. Patroli bukan mengeksekusi kejadian-kejadian atau monitoring pelanggaran syariat Islam saja, tetapi menjaga keamanan dan juga ketertiban masyarakat.
"Komponen lain juga harus dihadirkan, seperti transformasi nilai-nilai syariat muslim itu berkehidupan, jangan sampai kita terseret dengan fenomena-fenomena terkini sehingga jauh dari nilai-nilai syariat, itu saja sebenarnya yang harus dilakukan," ucapnya dalam video kanal Youtube Jalan Ary Official yang dikutip Dialeksis.com, Minggu (13/8/2023).
Prof. juga menyampaikan, dalam hal ini gubernur maupun walikota harus membimbing dan mengedukasikan nilai-nilai syariat di tengah-tengah masyarakat Aceh, artinya mampu mengontrol hal tersebut dalam makna yang luas. Terlebih lagi prokontra dalam menyingkapi dan menerjemahkan dalam kehidupan sosial, ini tidak bisa dipungkiri juga.
Misalnya, larangan main game online yang membuat sia-sia dan menghabiskan waktu, malahan terkait hal itu para pakar harus turun, mulai dari sosial, ekonomi, dan kesehatan. Bagaimana game itu bisa mempengaruhi otak manusia sehingga nalar, batin, dan pikiran mereka hanya tertuju ke situ, yang lain terlupakan begitu saja.
Namun, orang-orang melihat bahwa ini suatu kebencian, dianggap majelis Aceh kuno dengan milenial, padahal ada banyak efek negatif yang muncul nantinya. Kemudian, kenapa ada pembatasan ngopi ini? Mungkin ada pembatasan interaksi sosial yang tidak sehat misalnya, tapi ini bisa dilakukan edukasi pada masyarakat sehingga tidak menyakiti pihak mana pun.
Artinya, setiap warga Aceh harus memiliki paradigma bahwa ini baik dan itu tidak baik untuk masyarakat. Hal ini juga bisa menjadi tren negatif bagi para pelaku usaha terkait investasi dalam skala yang besar. Sekarang adalah bagaimana masyarakat Aceh di depan publik itu mentransformasikan nilai-nilai syariat Islam dalam berinteraksi sosial.
"Masyarakat punya kesadaran jika ada interaksi sosial yang tidak sehat, besok jangan diulangi lagi dan ia sadar atas kesalahannya, tidak hanya itu, pengusaha juga harus memiliki ketegasan jika magrib itu tutup," ujarnya.
Ia menyebut, apalagi ini arus global yang banyak tantangannya di samping lagi generasi Aceh tidak memiliki pengetahuan tentang itu. Mereka sudah terseret dengan pergaulan bebas atau jangan-jangan mungkin ada pesan dalam SE tersebut yang bisa dipahami bahwa jangan-jangan itu adalah langkah terjadinya tindak prostitusi, mungkin jika ada riset bisa dilihat data persentasenya yang ada di Kota Banda Aceh.
Apa sudah zero atau signifikan dan di mana transaksinya? Tentu negara sudah punya data itu sebelum mengeluarkan SE, artinya sudah dipikirkan semua itu. Jika, gubernur mengambil sebuah kebijakan harus pada level yang sudah berproses.
"Aceh sudah diberi ruang untuk mentransformasikan nilai-nilai syariat Islam dalam berkehidupan sosial di tempat publik, oleh karena itu, perlu adanya edukasi yang komprehensif yang membangun kesadaran masyarakat dan juga terima kasih pada negara yang sudah menfasilitasi," pungkasnya.