Kriminalisasi Pers di Indonesia Bukti Darurat Demokrasi
Font: Ukuran: - +
Reporter : fajri
DIALEKSIS.COM | Bireuen - Berbagai tindak kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia, serta maraknya aksi kriminalisasi pers untuk membungkam kemerdekaan pers, dinilai menjadi indikasi dan bukti darurat demokrasi yang sedang melanda bangsa ini.
Demikian terungkap dalam diskusi yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bireuen, Kamis (4/11/2021) di ruang seminar gedung Ampon Chik Peusangan Universitas Almuslim.
Diskusi bertajuk "Darurat Demokrasi dan Ancaman Kebebasan Pers", dihadiri 40 peserta dari kalangan wartawan, mahasiswa serta civitas akademika.
Kegiatan tersebut, merupakan rangkaian peringatan Hari Internasional Mengakhiri Impunitas Kejahatan Terhadap Jurnalis, diperingati setiap 2 November.
Pada kesempatan itu, dua pemateri yang dihadirkan mengulas tuntas bermacam isu terkait ancaman kebebasan pers, serta solusi-solusi dalam melawan aksi kriminalisasi pers.
Mereka yakni Direktur YLBHI Kota Banda Aceh, Syahrul SH MH dan Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad.
"Pembungkaman pers dengan tindakan kriminalisasi terhadap jurnalis, menjadi bukti darurat demokrasi yang sedang kita alami saat ini," ungkap Syahrul.
Dia menjelaskan, untuk mengubah situasi darurat demokrasi ini, insan pers bersama civitas akademika serta berbagai elemen masyarakat, harus solid dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang cenderung merugikan rakyat.
Selain itu, apabila ada upaya dari pihak-pihak tertentu mengkriminalisasi pers, dengan mempidanakan jurnalis. Maka, pekerja media harus solid untuk mengungkap fakta-fakta, tentang isu-isu pemberitaan yang dipermasalahkan ke ranah pidana.
Hal senada juga dikemukakan Zulfikar Muhammad, aktivis Aceh yang dikenal kritis ini semua kalangan menghormati kemerdekaan pers. Menurutnya, apapun fakta yang ditulis dan dipublikasi melalui media massa, bukanlah suatu kejahatan yang dapat langsung dipidanakan.
"Persoalan pemberitaan terlebih dahulu harus ditangani Dewan Pers, sehingga dapat diselesaikan sesuai mekanisme pers, bukannya langsung dipidana yang menghambat tugas-tugas jurnalistik dalam menjalankan fungsi kontrol sosial," sebutnya.
Dalam diskusi yang berlangsung selama dua jam tersebut, sejumlah peserta turut mengajukan ragam pertanyaan seputar independensi jurnalis, dalam menyajikan informasi pemberitaan. Pasalnya, saat ini ada kecenderungan produk jurnalistik menjadi bagian dari corong kekuasaan, serta aneka pertanyaan lainnya terkait tindak-tanduk pekerja media yang kerap meresahkan masyarakat, akibat semakin menjamurnya wartawan bodrex. Semua pertanyaan itu dijawab secara lugas oleh kedua pemateri.
Sebelumnya, AJI Bireuen melaksanakan pemutaran film "A Thousand Cuts". Film dokumenter itu mengisahkan perjuangan jurnalis Filipina, Maria Ressa yang mengalami intimidasi akibat menguak pelanggaran HAM, melalui aksi sadis dan brutal pemerintahan Presiden Dueterte yang membantai masyarakat di negara itu, dengan dalih pemberantasan narkoba.
CEO sekaligus Chef Editor situs berita Rappler itu, mendapat perlakuan buruk dan dipidana akibat menayangkan artikel tentang eksekusi tanpa peradilan di Kota Manila dan sekitarnya, hingga jurnalis wanita ini berhadapan dengan hukuman penjara. Namun, berkat keberanian serta kegigihannya melawan kriminalisasi pers ini, Maria Ressa menjadi warga Filiphina pertama yang mendapat Nobel Perdamaian tahun 2021.
Film dokumenter yang menceritakan bagaimana demokrasi tersayat-sayat, akibat sikap kepala negara yang otoriter membantai rakyatnya, selain memberi inspirasi agar jurnalis harus berani dan teguh memperjuangkan kemerdekaan pers, juga menjadi peringatan terhadap kondisi iklim demokrasi yang semakin buruk di Indonesia.
Ketua AJI Bireuen, Umaruddin selaku pelaksana nonton bareng dan diskusi ini, saat ditemui mengaku kegiatan itu merupakan program AJI Indonesia yang diselenggarakan di 10 Kota di tanah air, serta pada tiga negara yakni Malaysia, Filiphina dan Indonesia.
"Kegiatan ini bagian dari peringatan Hari Internasional Mengakhiri Impunitas Kejahatan Terhadap Jurnalis yang setiap tahun diperingati pada 2 November. AJI ingin berkontribusi, memperjuangkan kemerdekaan pers demi tegaknya iklim demokrasi yang baik," sebutnya. (Fajri Bugak)