KPU Usul Pilkada Serentak Geser 2025, Akademisi Ingatkan Hal Penting Ini
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Akademisi FISIP USK, Wais Alqarni. [Foto: IST]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengusulkan agar pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak digeser pelaksanaannya dari November 2024 ke Februari 2025. Usulan itu dilontarkan KPU jika pemerintah masih ngotot Pemilu dan Pilpres digelar pada 15 Mei 2024.
KPU mengajukan dua opsi, yakni opsi I hari H Pemilu 21 Februari 2024 dan Pilkada 27 November 2024, serta opsi II yakni hari H Pemilu 15 Mei 2024 dan Pilkada 19 Februari 2025.
Menanggapi hal itu, Akademisi FISIP Universitas Syiah Kuala (USK), Wais Alqarni mengatakan pergeseran jadwal Pilkada serentak dari 2024 ke 2025 itu bisa terjadi, dengan ketentuan adanya dasar hukum baru terkait dengan hal itu. Karena di dalam Undang-undang Pilkada saat ini disebutkan bahwa Pilkada dilaksanakan pada November 2024.
"Ketika Pilkada itu digeserkan pada tahun 2025 akan berimbas terjadi penambahan masa Plt para Kepala Daerah. Hal itu akan semakin memperlambat adanya para kepala daerah definitif. Diketahui jika kepala daerah itu diemban oleh Plt maka masih banyak hal-hal yang tidak bisa dilaksanakan secara komprehensif," jelas Wais kepada Dialeksis.com, Sabtu (9/10/2021).
Baginya, tidak masalah jika Pilkada itu digeser dari 2024 jadi 2025 itu tidak jadi kendala, akan tetapi harus merujuk ke aturan dan harus dibenarkan dulu aturannya.
"Kita harus belajar pada kasus Caleg dan Pilpres serentak tahun 2019 silam, banyak sekali para KPPS yang meninggal dunia. Untuk menghindari hal itu guna tidak mengulang kejadian serupa, semua pihak harus benar-benar jeli baik pemerintah, DPR, KPU, Bawaslu serta LSM yang fokus dengan isu kepemiluan itu juga harus sama-sama memikirkan terkait hal itu," sebut wais yang merupakan purna tim Asistensi Bawaslu DI.Yogyakarta.
Ia menegaskan, jangan sampai persoalan lama yang dulu dikritisi besar-besaran itu jangan sampe terulang kembali. Hal itu diakibatkan karena mempertahankan ego politik masing-masing kelompok tertentu.
"Jadi, kita harus melihat bagaimana Pemilu dan Pilkada itu harus diselenggarakan tetapi dengan meminimalkan resiko yang sebelumnya pernah terjadi di Indonesia," ungkap Direktur Institute for Democracy and Justice.