KPPAA: Perempuan Juga Bisa Memimpin
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
Wakil KPPAA, Ayu Ningsih. [IST]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pada tahun 1908, muncul sekelompok pengunjuk rasa yang berasal dari kelompok perempuan di New York.
Unjuk rasa itu digelorakan oleh kaum buruh perempuan untuk menuntut beberapa hal, yakni meminta pemotongan jam kerja karena waktu itu perempuan bekerja sampai malam, menuntut upah yang sepadan karena dibedakan dengan pendapatan laki-laki, dan menuntut untuk dilibatkan dalam ajang Pemilihan Umum (Pemilu).
Setahun kemudian, deklarasi dari kelompok buruh perempuan kembali dilangsungkan, sehingga pada 8 Maret dikenal dunia sebagai Hari Perempuan sedunia.
Wakil Ketua Komisi Pengawasan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA), Ayu Ningsih mengatakan, memang pada waktu dulu perbedaan hak antara anak laki-laki dengan anak perempuan dibedakan.
Namun pada hari ini, kata dia, kesenjangan hak-hak perempuan dan laki-laki sudah terpaut jauh, dalam artian belenggu budaya patriarki sudah mulai menghilang.
“Dulu, semangat anak perempuan untuk sekolah tinggi-tinggi saja sudah dipatahkan dari keluarga sendiri, dikatain, kamu tamat SMA saja, nanti kan nikah juga, ujung-ujungnya kan duduk di rumah. Sekarang, sudah tidak lagi, walaupun ada sedikit masalah-masalah yang lain,” kata Ayu saat dihubungi Dialeksis.com, Senin (8/3/2021).
Ayu menuturkan, saat ini, baik di sekolah mulai dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga ke jenjang Perguruan Tinggi, anak-anak perempuan rata-rata mendominasi prestasi yang dicapai ketimbang anak laki-laki.
Walaupun, sambung dia, setelah tamat kuliah dan menikah, keberadaan anak perempuan justru menghilang, kadang-kadang juga tidak lagi bekerja di sektor publik.
“Makanya, kadang-kadang kalau dilihat ini masih belum sebanding. Maksudnya, perempuan yang bekerja dengan perempuan yang tidak bekerja kan perbandingannya juga masih banyak. Kalau pun perempuan bekerja, nanti posisinya bagaimana. Ada nggak perempuan di ranah kebijakan, kalaupun ada masih bisa kita hitung berapa persen saja,” jelas Ayu
Namun, kata dia, kondisi sekarang ini tidak lagi serumit dulu, dalam artian perempuan kini berkesempatan untuk meningkatkan ke level yang lebih baik.
Selain itu, Ayu menjelaskan, dinamika kesetaraan gender di Aceh antara laki-laki dengan perempuan dalam pemenuhan hak-haknya, sudah positif atau tidak ada lagi perbedaan.
“Kita bisa lihat, misalnya dalam pemilu itu kan perempuan semua punya hak suara untuk memilih, artinya tidak ada perbedaan. Dan dalam pemilu, misalnya ada calon-calon perempuan, legislatif perempuan atau calon gubernur atau bupati, Walikota, itu juga ada perempuan,” jelas dia.
Walaupun, kata dia, masih ada tantangan bagi calon-calon legislatif perempuan semisal isu-isu Black Campaign (kampanye hitam) dan sejenisnya.
“Itu juga masih menjadi tantangan, tapi tidak serumit dulu lagi,” kata Ayu.
Kendati demikian, Ayu mengatakan, kondisi perempuan di Aceh sudah mulai berkembang. Meskipun minim, tapi sudah ada perempuan-perempuan yang menjadi Kepala-kepala Dinas di Kepemerintahan.
“Mungkin dari 50 SKPA, masih 3 atau 5. Artinya masih 5 persen. Tapi, ya, patut diapresiasi lah daripada tidak sama sekali,” ungkapnya.
Untuk ke depan, Ayu menilai anak-anak perempuan juga akan meningkatkan kapasitasnya di berbagai level, sehingga kalau pun anak perempuan jadi pemimpin, sudah tidak lagi di bully dunia dengan kepemimpinan perempuan.
“Tapi, perempuannya memang harus betul-betul berkapasitas dan memang bisa menunjukkan kalau perempuan juga bisa memimpin,” pungkas dia.