DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Aceh menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Formulasi Pengaturan Penyiaran Internet dalam Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2024”, pada Selasa, 24 Juni, 2025, di Portola Grand Arabia, Banda Aceh.
FGD ini menjadi langkah awal KPI Aceh dalam menyusun regulasi teknis guna memperkuat pengawasan terhadap penyiaran berbasis internet, sebagaimana dimandatkan dalam Qanun terbaru yang mengakui media digital sebagai bagian dari sistem penyiaran.
FGD tersebut dipandu langsung oleh M. Reza Fahlevi, M.Sos, Koordinator Bidang Pengembangan Kebijakan Sistem Penyiaran (Komisioner) KPI Aceh, sekaligus sebagai penanggung jawab kegiatan.
Dalam pengantarnya, Reza menyatakan bahwa dunia penyiaran telah bergeser ke ranah digital yang sangat dinamis dan tak lagi dibatasi oleh perangkat konvensional.
“Penyiaran hari ini sudah masuk ke ruang personal dan sosial masyarakat lewat internet. YouTube, TikTok, dan platform lainnya kini memuat konten berseri, bahkan live, tapi belum sepenuhnya masuk pengawasan. Ini jadi tugas kita bersama untuk melengkapinya dengan aturan yang jelas,” ujar Reza.
Menurut Reza, meski Qanun Nomor 2 Tahun 2024 telah memberi dasar legal terhadap penyiaran internet, namun ketentuannya masih bersifat umum dan memerlukan aturan turunan dalam bentuk Peraturan Gubernur (Pergub) dan Peraturan KPI Aceh (PKPIA) yang lebih implementatif dan adaptif.
Komisioner KPI Aceh lainnya, Ahyar, ST, yang hadir juga sebagai keynote speaker dalam FGD, dalam pemaparannya menyatakan bahwa regulasi teknis sangat mendesak agar ruang digital tidak menjadi liar dan tak bertuan.
“Kita tidak bisa biarkan masyarakat Aceh terpapar konten-konten yang tidak mendidik. Penyiaran sekarang bukan hanya televisi, tapi juga ada di ujung jempol kita,” katanya.
Muhammad Junaidi, SH., MH., Kepala Biro Hukum Setda Aceh, menegaskan bahwa penyusunan Pergub harus mengacu langsung pada isi Qanun dan tidak boleh menafsirkan ulang norma yang telah ditetapkan.
“Kalau ada pembebanan terhadap masyarakat, maka itu harus masuk ke Qanun. Pergub hanya mengatur hubungan antarlembaga atau hal teknis yang tidak menimbulkan beban baru. KPI bisa mengaturnya lebih fleksibel lewat Peraturan KPIA,” jelasnya.
Akademisi Universitas Syiah Kuala, Prof. Iskandar A. Gani, mengingatkan agar posisi strategis Aceh sebagai daerah kekhususan dijaga melalui regulasi penyiaran yang berbasis syariat Islam dan nilai lokal.
“Aceh bukan hanya punya otonomi, tapi juga punya identitas. Media di Aceh tidak boleh kehilangan arah. Harus ada regulasi yang menjaga nilai, bukan sekadar mengejar tren,” ujar Prof. Iskandar yang juga mantan ketua KPI Aceh periode pertama pembentukannya.
Dari tingkat nasional, Amin Shabana, Komisioner KPI Pusat yang hadir melalui Zoom Meeting, menyoroti peran media sosial dalam membentuk opini publik dan pentingnya tanggung jawab platform dalam menjaga ekosistem digital.
“Platform media sosial tidak bisa lagi lepas tangan. Harus ada mekanisme aduan yang jelas, pengawasan internal, bahkan pelaporan rutin soal konten bermasalah ke KPI,” tegas Amin.
Marwan Nusuf, Kepala Dinas Komunikasi, Informatika dan Persandian Aceh, menyatakan kesiapan infrastruktur teknologi Aceh, termasuk penerapan tanda tangan digital dan sistem informasi pemerintahan.
Namun demikian, ia menekankan bahwa teknologi harus diiringi dengan kesiapan sumber daya manusia dan budaya digital masyarakat.
“Yang perlu kita perkuat sekarang bukan hanya teknologi, tapi juga SDM dan literasi masyarakat,” katanya.
Sementara itu, Arif Fadhillah, Sekretaris Komisi I DPR Aceh, menyebut bahwa upaya penguatan regulasi digital adalah bagian dari menjaga marwah Aceh sebagai wilayah berbudaya dan bermartabat.
“Kalau Aceh serius ingin mengatur ruang digitalnya sendiri, kita harus mulai dari sekarang memperjuangkan kewenangan penuh terhadap media di Aceh,” tegasnya.
Dari kalangan akademisi, Dr. Hendra Syahputra dari UIN Ar-Raniry menyampaikan pandangannya terkait konsumsi media digital yang masif namun belum diimbangi dengan kesiapan budaya dan etika masyarakat.
“Kita melihat ruang digital penuh dengan ekspresi bebas, tapi kadang lepas kendali. KPI harus mendorong literasi digital secara lebih luas, termasuk di kampus-kampus,” ujarnya.
Sementara itu, Prof. Yudo, dari Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI), mengingatkan pentingnya peta jalan (roadmap) penyiaran digital yang meliputi aspek teknis, model bisnis, dan sistem pengawasan.
“Qanun ini sudah menjadi langkah maju. Tapi perlu diturunkan dalam bentuk peta jalan: siapa yang mengatur, konten seperti apa yang diawasi, dan bagaimana pelaporan serta sanksi diterapkan,” ungkapnya.
Diskusi FGD juga menyerap aspirasi dari peserta yang berasal dari kalangan akademisi, konten kreator, pegiat literasi digital, dan praktisi media. Beberapa isu yang mengemuka antara lain perlunya integrasi kurikulum etika digital di kampus, kontrol terhadap komentar destruktif di media sosial, dan keinginan agar sanksi terhadap pelanggaran konten bersifat edukatif dan konstruktif.
Kegiatan ini menghasilkan sejumlah rekomendasi awal, seperti penyusunan draft Pergub dan PKPIA sebagai aturan teknis turunan dari Qanun, klasifikasi lembaga penyiaran internet di Aceh, integrasi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) ke dalam penyiaran digital, serta pembentukan helpdesk pengaduan konten digital di bawah KPIA.
Dalam penutupnya, M. Reza Fahlevi, M.Sos, menyampaikan bahwa KPI Aceh tidak hanya akan berperan sebagai pengawas, tetapi juga menjadi fasilitator yang mengarahkan transformasi ruang digital Aceh agar tetap sehat, kreatif, dan sesuai nilai-nilai Islam.
“Ini bukan semata-mata soal aturan, tetapi tentang membangun ruang siaran digital yang edukatif, inklusif, dan Islami. KPIA siap memimpin arah kebijakan ini ke depan,” pungkasnya.