KPA Tolak Perubahan Pasal Bendera pada Draft Revisi UUPA
Font: Ukuran: - +
Reporter : Alfi Nora
Koordinator KPA Muhammad Hasbar Kuba. [Foto: Ist.]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kaukus Peduli Aceh (KPA) secara tegas menolak wacana pengesahan bendera bulan bintang sebagai bendera Aceh karena tidak mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Aceh secara menyeluruh, namun hanyalah untuk melambangkan kepentingan tertentu yang berpotensi menimbulkan polemik baru di Aceh di tengah perdamaian.
"Jika revisi draft UUPA hanya untuk mengakomodir persoalan simbol seperti bendera dan lambang serta membuat kewenangan DPR Aceh semakin berlebihan sudah seyogyanya revisi UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh itu ditolak,” tegas Koordinator KPA Muhammad Hasbar Kuba, dalam keterangan tertulis yang diterima Dialeksis.com, Jum'at (24/3/2023).
Sambungnya, apalagi sejauh ini tak pernah dilakukan uji publik atau dilakukan pembedahan materi revisi UUPA tersebut kepada publik, hanya sebatas di tataran lembaga legislatif belaka.
Menurut Hasbar, banyak hal pada draft revisi UUPA itu terkesan janggal dan terlalu dipaksakan oleh DPR Aceh.
Diantaranya, kata dia, pada Draft revisi UUPA tepatnya Bab XXXVI Tentang Bendera, Lambang dan Himne Pasal 246 diusulkan perubahan pada ayat (4) pasal tersebut sehingga berbunyi ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal tersebut diatur dalam qanun Aceh.
"Dari revisi pasal tersebut terlihat jelas bahwa adanya upaya agar bentuk bendera Aceh tidak lagi berpedoman pada peraturan perundang-undangan,” jelasnya.
Hal ini, kata Hasbar, berpotensi ke depannya misalkan jika suatu saat DPR Aceh didominasi oleh fans club bola tertentu, maka bendera Aceh pun akan menjadi bendera club tersebut.
“Misal ketika fans loyal madrid atau mendominasi DPRA maka sah-sah saja qanun bendera dan lambang itu direvisi sesuai dengan keinginanannya, misalkan bendera real madrid jadi bendera Aceh atau bendera barca jadi bendera Aceh, tanpa memperdulikan perundangan-undangan dan aspirasi mayoritas masyarakat Aceh," jelasnya lagi.
Hasbar mengatakan, DPR Aceh saat ini terkesan terlalu memaksakan untuk memuluskan bendera bulan bintang yang telah dirumuskan dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh yang tidak sesuai dengan perundang-undangan dapat diberlakukan di Aceh.
Padahal sebelumnya, qanun tersebut secara jelas bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007.
"Seharusnya ketika qanun tersebut tidak berpedoman dengan perundangan-undangan, maka yang direvisi adalah qanun tersebut, bukan memaksakan qanun tersebut menjadi acuan ketika perubahan UUPA dilakukan," tegasnya.
KPA juga memprotes sejumlah pasal dalam revisi UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang membuat kewenangan lembaga legislatif di Aceh terlalu over bahkan tak lagi berpedoman pada perundang-undangan.
"Katakan pada pasal 8 draft revisi UUPA, pada ayat 1 dan 2 pasal tersebut disebutkan bahwa untuk persetujuan internasional hingga UU yang diberlakukan di Aceh harus mendapat persetujuan DPRA. Bahkan yang lebih lanjut pada ayat (4), tata cara pemberian persetujuan itupun hanya diatur melalui tata tertib DPRA, dan tidak harus berpedoman pada aturan perundangan yang lebih tinggi," katanya.
Ironisnya lagi, lanjut Hasbar, pada pasal 24 ayat (2) dimana DPRK melaksanakan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kemudian pada ayat (3) pelaksanaan tugas dan kewenangan pun hanya mengacu kepada tata tertib DPRK tidak lagi berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Bahkan, pada bagian ketiga tentang hak, kewajiban dan kode etik perubahan pasal 25 ayat (1) huruf h juga terkesan tak logis dimana dprk/dpra menggunakan anggaran baik APBK atau APBA tak lagi mesti harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan tetapi cukup diadministrasikan oleh sekwan.
Belum lagi, kata Hasbar, bicara pasal 25 ayat 2 yang semakin membuat peran partai dominan di DPRK/DPRA semakin mudah mengatur kepala pemerintahan dengan dikuranginya jumlah persetujuan hak angket dari 3/4 dari jumlah DPRK/DPRA menjadi 2/3. Sehingga siapapun kepala daerah di Aceh harus sepenuhnya mengikuti kehendak partai berkuasa di parlemen atau akan dimakzulkan.
"Bahkan hal yang lebih lucu, pada pasal 25 ayat 9 dimana tatib DPRK/DPRA yang semestinya sesuai dengan perundang-undangan juga pasal tersebut dihapus. Sehingga DPRK/DPRA semakin berkuasa dalam melakukan berbagai hal tanpa harus sesuai atau berpedoman pada peraturan perundang-undangan, bahkan jika kita lihat lebih lanjut pada perubahan pasal 26 ayat (3) pada draft revisi UUPA dimana hak dan kewajiban DPRA/DPRK diatur dalam tata tertib DPRA/DPRK tanpa perlu berpedoman kepada perundang-undangan," bebernya.
KPA menilai, sangat disayangkan draft revisi UUPA yang akan diajukan DPRA ini tak lebih dari bagaimana peran lembaga legislatif semakin besar bahkan terkesan over dosis, kemudian memuluskan simbol-simbol dan lambang-lambang yang berbau konflik masa lalu.
Seharusnya, kata Hasbar, DPRA paham bahwa hal terpenting bagi rakyat Aceh hari ini bukanlah sebatas lambang dan bendera, bukan pula sebatas memberikan kewenangan sebesar-besarnya kepada wakil rakyat hingga cenderung telah melampaui batas kewajaran.
Tapi, hal paling penting adalah bagaimana membebaskan Aceh dari belenggu kemiskinan dan meningkatkan perekonomian masyarakat.
“Jika UUPA direvisi hanya untuk memuluskan keinginan sekelompok orang, maka pada suatu masa UUPA tersebut akan dianggap sebagai perjuangan kepentingan sekelompok orang bukan kepentingan Aceh secara menyeluruh, sehingga sah-sah saja pada suatu masa UUPA hanya jadi bungkusan kado belaka," tutupnya. [NOR]