kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Korban Kekerasan Seksual Rentan Diancam, Pemerintah Diimbau Tempatkan di Rumah Aman

Korban Kekerasan Seksual Rentan Diancam, Pemerintah Diimbau Tempatkan di Rumah Aman

Rabu, 22 Desember 2021 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora
Komisioner Perlindungan Perempuan dan Anak Aceh (KPPAA), Ayu Ningsih. [Foto: Dialeksis/Achmad] 

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Keluarga anak dibawah umur yang menjadi korban rudapaksa oleh 14 pemuda di Nagan Raya mengaku diminta damai oleh keluarga pelaku.

Menurut ibu korban yakni Mas, (32) dalam tawaran damai itu keluarga pelaku mengiming-imingi uang puluhan juta serta satu unit rumah jika mereka bersedia berdamai dengan pelaku serta tidak melanjutkan lagi kasus tersebut ke ranah hukum.

Komisioner Perlindungan Perempuan dan Anak Aceh (KPPAA), Ayu Ningsih mengatakan hal itu terjadi disebabkan karena korban tidak segera ditempatkan di rumah aman atau tempat penampungan sementara.

"Korban dan keluarganya sangat rentan didatangi oleh pihak-pihak tertentu untuk memberikan iming-iming agar kasusnya diselesaikan dengan perdamaian/didamaikan, belum lagi korban dan keluarganya mendapatkan ancaman, intimidasi dan stigma-stigma negatif lainnya dari pihak-pihak yang bertanggungjawab," jelasnya kepada Dialeksis.com, Rabu (22/12/2021).

Untuk itu, lanjutnya, demi keamanan dan keselamatan korban serta keluarganya, P2TP2A dan SKPK terkait harus segera menempatkan korban di tempat penampungan sementara selama kasusnya masih dalam proses hukum.

"Selain itu, P2TP2A juga harus segera mendampingi pemeriksaan kesehatan korban dan mendampingi pemulihan psikologis bagi korban dan memberikan penguatan kepada keluarga korban," mintanya.

Menurut Ayu, ini merupakan kasus yang luar biasa, orang dewasa saja belum tentu sanggup menghadapinya, apalagi kasus ini dialami oleh anak dibawah umur, yang tentunya akan berdampak dan mempengaruhi tumbuh kembang, perilaku, dan menimbulkan trauma bagi korban, yang jika tidak segera dipulihkan dampak tersebut akan dirasakan seumur hidup korban.

Kata Ayu, korban saat ini juga sudah putus sekolah dan ini sungguh memalukan, disaat program wajib belajar 12 tahun digaungkan oleh pemerintah sebagai sebuah upaya untuk mencerdaskan bangsa, namun masih ada anak bangsa yang saat ini tidak mendapatkan hak pendidikan, karena ketidaksanggupan orangtua untuk membiayai sekolah anaknya.

"Lantas dimana kehadiran negara dalam hal ini? disaat hak pendidikan anak dijamin oleh konstitusi, namun masih terjadi pengabaian terhadap hak-hak dasar anak," tegasnya.

Lalu, mengapa masyarakat diam saja melihat ada anak di lingkungan mereka yang tidak sekolah? Dan bagaimana sosialisasi yang dilakukan oleh dinas pendidikan terhadap program wajib belajar 12 tahun, lalu bagaimana sekolah mengantisipasi agar anak didik dari keluarga yang tidak mampu juga masih bisa bersekolah? Bukankah saat ini anggaran untuk pendidikan dan beasiswa sangat besar? Lalu bagaimana penggunaan dan pemanfatannya? Siapa yang mengawasinya? Tentunya hal ini menjadi pertanyaan dan pekerjaan kita bersama.

KPPAA berharap kasus rudapaksa ini dapat ditangani secara maksimal, selain pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, di sisi yang lain pelaku juga perlu mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi akibat kecanduan film porno dan pergaulan yang salah/menyimpang, apalagi usia pelaku juga masih sangat muda. 

Menurutnya, pelaku merupakan korban pengasuhan yang salah dari orangtuanya, harusnya orangtua yang bijak tidak perlu memberikan iming-iming rumah dan uang kepada korban, karena korban tidak butuh uang dan rumah tersebut.

"Harusnya orangtua menyadari dan menyesali kesalahannya karena telah lalai dan abai dalam mengasuh, mendidik, membesarkan dan mengawasi tumbuh kembang anaknya, sehingga menyebabkan anak terjerumus dalam pergaulan yang salah/menyimpang," kesalnya. 

Kasus ini harusnya menjadi pembelajaran bagi para orangtua jangan hanya sibuk mengejar uang semata untuk membesarkan anak-anaknya. Namun lupa mengisi ruang kasih sayang, perhatian dan komunikasi yang sangat dibutuhkan oleh anak. 

Untuk pelaku yang merupakan anak dibawah umur tentunya harus diproses sesuai dengan ketentan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Selain itu dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh KPPAA terhadap lembaga layanan di beberapa Kabupaten, hasilnya masih belum sesuai dengan harapan dan ekspektasi, dan masih diperlukan beberapa pembenahan terkait peningkatan kapasitas/SDM lembaga layanan, menyusun beberapa SOP yang dibutuhkan terkait layanan yang diberikan.

Ayu tidak menyalahkan lembaga layanan, karena terkadang mereka juga tidak memiliki anggaran yang cukup untuk mendampingi kasus, terbatasnya sarana dan prasarana serta minimnya sumberdaya yang dimiliki, dan hampir tidak ada pembagian peran dan tugas dari setiap staf yang ada di lembaga layanan.

"Sehingga tak heran jika ada beberapa kasus yang ditangani yang tidak tuntas, bahkan ada kasus yang selesai ditangani tapi selang beberapa bulan kemudian, korban juga menjadi korban lagi, bahkan ada pelaku anak yang sudah didiversi namun juga kembali mengulang tindak pidana yang sama, bahkan melakukan tindak pidana lain," jelasnya lagi. 

Lantas mengapa ini bisa terjadi? 

Lagi-lagi bicara perlindungan dan pemenuhan hak anak harus dilakukan secara bersama-sama dengan berbagi peran dari setiap lembaga/instansi, SKPA/K, mulai dari peran pencegahan terjadinya kekerasan terhadap anak, peran penanganan hukum (mulai dari penyidikan, penututan, pengadilan, pemidanaan), peran pendampingan dari lembaga layanan terhadap korban ataupun pelaku anak, peran dari dinsos/pekerja social dalam melakukan pendampingan terhadap korban ataupun pelaku anak, peran pemulihan korban, peran reintegrasi dan peran pengawasan berkala pasca kasus ditangani), namun hingga saat ini belum ada satu terpadu terpadu Sistem Rujukan Bersama dalam penanganan kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum.

Sehingga tak heran jika terjadi kasus anak di suatu daerah, ada lembaga layanan yang masih bingung dan tidak tahu melakukan apa terhadap kasus yang terjadi, bahkan tidak jarang lembaga layanan hanya menunggu korban melapor.

Padahal belum tentu semua korban dan masyarakat mengetahui adanya lembaga layanan atau P2TP2A di daerah, karena belum semua korban dan masyarakat memiliki pengetahuan dan keberanian untuk melaporkan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di lingkungannya.

Hal ini, seharusnya juga harus menjadi evaluasi bersama bagi lembaga layanan. Apalagi ke depan P2TP2A sudah tidak ada lagi dan menjadi UPTD PPA, dan belum semua kab/kota membentuk UPTD PPA bahkan ada beberapa kabupaten yang terancam tidak ada anggaran untuk pendampingan kasus karena belum terbentuk UPTD PPA seperti Pidie Jaya, bahkan di beberapa kabupaten lain anggaran pendampingan berada pada salah satu bidang perempuan dan anak karena belum terbentuk UPTD PPA.

Proses penganggarannya saat ini belum menyentuh semua aspek-aspek pemenuhan dan perlindungan anak yang tepat, apalagi program Kabupaten/kota Layak Anak saat ini juga masih menyentuh pada pemenuhan target untuk capaian 24 indikator dari 5 kluster (kluster hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternative, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan seni budaya dan perlindungan khusus anak), dengan harapan untuk mengejar dan meraih penghargaan semata, dan belum mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak dan perlindungan anak. 

Pencegahan terjadinya kekerasan terhadap anak masih sangat minim dilakukan, beberapa ruang publik yang tersedia juga masih belum ramah anak, mulai dari kondisi gedung, jalan, toilet, musholla, kantin, bahkan area bermain anak juga belum semuanya ramah anak.

"Karena itu, masih banyak pekerjaan besar kita untuk isu perlindungan dan pemenuhan hak anak yang melibatkan seluruh sektor mulai dari masyarakat, swasta/dunia usaha dan pemerintah melalui SKPA terkait," kata dia.  

Ia menambahkan, karena bicara perlindungan dan pemenuhan hak anak ada di lintas sektor, tinggal bagaimana memastikan dan mengkoordinasikan semua lintas terkait untuk mengintegrasikan Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA), yang merupakan strategi perlindungan anak dengan mengintegrasikan hak anak dalam setiap kegiatan pembangunan mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi berbagai peraturan perundang-undangan, kebijakan dan program. 

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda