Kontroversi Kontes Waria 2024, Masyarakat Kecam Penghargaan Peserta dari Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Pegiat media sosial, Very Bukhari. Foto: dok pribadi
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pegiat media sosial, Very Bukhari menanggapi kontroversi terkait kontes Miss Beauty Star Indonesia 2024 yang baru-baru ini diumumkan.
Salah satu peserta dari Aceh telah dinyatakan sebagai pemenang dalam event tersebut, yang menimbulkan dugaan adanya unsur kesengajaan dari panitia untuk memenangkan kontestan dari Aceh.
"Rasanya ini memalukan, kami khawatir hal ini merupakan upaya untuk menciptakan ketegangan dengan syariat Islam yang tengah ditegakkan oleh pemerintah Aceh," ujarnya kepada Dialeksis.com, Rabu, 7 Agustus 2024.
Dikatakannya, Kemenangan peserta dari Aceh sangat kontradiktif dengan penegakan syariat Islam di Tanah yang dikenal Serambi Mekkah.
Kontes ini, yang merupakan representasi perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama apapun, dinilai sangat tidak pantas. Tidak ada agama di muka bumi ini yang membenarkan perilaku kaum sodomi atau kaum Nabi Luth.
"Sebagai masyarakat Aceh, kami mengecam dengan keras pelaksanaan kontes tersebut serta keberadaan hotel dan panitia yang terlibat," ujarnya.
Ia mempersoalkan dasar dari klaim peserta yang mengaku mewakili Aceh, Dalam konteks hukum Indonesia yang secara tegas menolak perbuatan LGBT, keberanian mereka untuk melanggar hukum positif Indonesia sangat mengejutkan.
"Kami mendesak penegak hukum dalam hal ini Polres Metro Jakarta Pusat untuk menyelidiki hotel serta panitia kontes ini secara mendalam," jelasnya.
Ia juga menuntut kepolisian untuk menangkap pengelola hotel, panitia, serta seluruh peserta kontes agar menjadi efek jera dan mencegah kejadian serupa di masa mendatang.
Selain itu, ia meminta kepada DPR RI untuk mengatur regulasi yang ketat terkait event yang mengatasnamakan daerah. Setiap kegiatan yang menggunakan nama daerah harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat.
Ia berharap seluruh daerah di Indonesia dapat mempermudah proses izin dan mendukung masyarakat untuk mengikuti kontes yang tidak melanggar hukum dan norma agama.
Ia juga mendesak DPR RI untuk membuat undang-undang yang mengharamkan serta mempidanakan tindakan LGBT, yang kami pandang sebagai penyakit sosial yang harus dimusnahkan. Menurut hemat kami, tidak ada pelanggaran HAM apabila undang-undang yang melarang aktifitas LGBT ini dapat diterapkan di Indonesia.
Masyarakat Aceh, kata Very, dengan tegas menegaskan komitmen kami terhadap penegakan hukum syariat Islam di wilayah Aceh, khususnya terkait Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Qanun ini dengan jelas mengatur larangan terhadap perilaku LGBT, yang dapat dikenai hukuman hingga 100 kali cambuk.
Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 dengan tegas melarang perilaku LGBT, dan sanksi berat telah diatur untuk tindakan tersebut.
Dengan latar belakang ini, ia sangat menyesalkan bahwa ada pihak-pihak yang mengatasnamakan Aceh dalam konteks kegiatan yang melanggar norma dan hukum syariat. Tindakan ini menunjukkan kurangnya pemahaman dan penghormatan terhadap peraturan yang berlaku di Aceh.
"Sebuah kejuaraan seharusnya menjadi kebanggaan apabila ada pesertanya yang menjadi pemenang, namun kasus ini, sebaliknya, merupakan hal yang sangat memalukan. Kami umat Muslim percaya bahwa Allah SWT telah memberikan contoh tegas tentang akibat perbuatan kaum Nabi Luth sebagai peringatan bagi umat manusia," pungkasnya.