Kontras Aceh: Tidak Semua Perkara Bisa Restorative Justice
Font: Ukuran: - +
Reporter : Zulkarnaini
Koordinator Kontras Aceh, Azharul Husna
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kejaksaan Agung telah menyetujui tujuh permohonan penghentian penuntutan perkara berdasarkan prinsip keadilan restoratif atau restorative justice. Dari tujuh perkara tersebut, tiga di antaranya terjadi di Provinsi Aceh, melibatkan kasus penganiayaan dan penggelapan.
Keputusan ini mendapatkan tanggapan dari Koordinator Kontras Aceh, Azharul Husna. Dia menyatakan bahwa tidak semua perkara dapat menggunakan keadilan restoratif, dan menurutnya, metode ini lebih sesuai untuk perkara pidana ringan.
“Tidak semua perkara bisa menggunakan keadilan restoratif, itu bisa diterapkan pada perkara pidana ringan,” kata Azharul Husna kepada DIALEKSIS.COM, Rabu (18/10/2023).
Keadilan restoratif memang dapat memberikan ruang bagi pemulihan dan rekonsiliasi dalam kasus-kasus tertentu. Namun, penting bagi kita untuk memastikan bahwa metode ini digunakan dengan bijak dan sesuai dengan konteks kasus yang bersangkutan," ujar Azharul Husna.
Menurut Azharul Husna untuk kasus penggelapan dan penganiayaan tergantung tingkat pelanggaran, itu bisa dimasukkan ke dalam tindak pidana ringan (Tipiring).
“Jadi, restorative justice itu jangan dimaknai sebagai penghentian perkara saja, dengan alasan belum pernah melakukan sebelumnya dan lain-lain. Jangan lupa, unsur pemenuhan rasa keadilan semua pihak yang terlibat dalam perkara ini harus ada,” katanya.
Prinsip keadilan restoratif mengutamakan rekonsiliasi dan pemulihan hubungan antara pelaku kejahatan, korban, dan masyarakat, dengan memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki tindakannya dan memperbaiki kerugian yang diakibatkannya.
“Dalam prosesnya ada syarat materil juga yang harus dipenuhi diantaranya yaitu harus dipastikan tidak berpotensi menyebabkan konflik sosial dan menimbulkan keresahan masyarakat,” pungkasnya.