Sabtu, 21 Juni 2025
Beranda / Berita / Aceh / Kontras Aceh Tegaskan Pentingnya Narasi Positif Dalam Pemberitaan Pengungsi Rohingya

Kontras Aceh Tegaskan Pentingnya Narasi Positif Dalam Pemberitaan Pengungsi Rohingya

Sabtu, 21 Juni 2025 13:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Muntaziruddin Sufiady Ridwan

Koordinator Kontras Aceh, Azharul Husna. Foto: Muntazir/Dialeksis 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Koordinator Kontras Aceh, Azharul Husna, menegaskan pentingnya pendidikan publik untuk meluruskan stigma negatif terhadap pengungsi, khususnya pengungsi Rohingya yang kini berada di Aceh.

Dalam keterangannya di sela-sela diskusi publik bertajuk “Hari Pengungsi Sedunia: Merajut Solidaritas dan Karya Bersama Anak Muda Pengungsi”, ia menyebut bahwa penggunaan diksi-diksi seperti ‘ilegal’, ‘pendatang gelap’, ‘imigran’ tak hanya keliru, tetapi juga merupakan suatu upaya menyematkan citra negatif kepada para pengungsi tersebut.

“Yang pertama, tentu pendidikan publik terkait siapa itu pengungsi. Ini jadi penting, di tengah arus narasi bohong dan negativity terhadap para pengungsi. Itu adalah upaya lain untuk mendemonisasi orang-orang yang teraniaya ini,” kata Azharul Husna, pada Jumat (20/6/2025) sore, di pelataran Kantor Kontras Aceh, Banda Aceh.

Selain itu, ia juga menyinggung terbatasnya kerangka hukum yang dimiliki Indonesia dalam penanganan pengungsi. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2016, menurut Husna, belum cukup dan sudah seharusnya untuk diperbarui.

“Peraturan ini terinspirasi dari pengalaman Aceh menerima pengungsi pada masa lalu. Kita berharap pemerintah, dalam upaya revisinya, membuat aturan yang lebih komprehensif terkait dengan pengungsi dari luar negeri ini. Ini bisa kita anggap sebagai upaya lain negara untuk ikut serta dalam perdamaian dunia,” tambahnya.

Sejauh pengamatan Kontras Aceh, situasi pengungsi Rohingya di Aceh saat ini masih memprihatinkan. Tercatat sekitar 500 pengungsi yang tersebar di beberapa wilayah, seperti di Kabupaten Pidie, Lhokseumawe, dan Aceh Timur.

Ihwal semakin meningkatnya jumlah pengungsi yang berlabuh ke Aceh, Husna menjelaskan bahwa hal ini--selain disebabkan oleh krisis yang kini tengah terjadi di Myanmar, kebijakan wajib militer yang diberlakukan oleh junta militer Myanmar menjadi pemicu utama gelombang pengungsian.

“Peningkatan jumlah pengungsi yang datang di Aceh itu tidak lepas dari undang-undang wajib militer yang kemudian ditetapkan di Myanmar, dan kemudian diperbarui. Itu yang kemudian menyebabkan arus pengungsi menjadi lebih tinggi,” ungkap Azharul Husna.

Husna juga menyoroti bagaimana negara menangani para pengungsi. Sejauh ini, ia menilai, negara tidak menunjukkan pendekatan yang humanis dan komprehensif. Alih-alih bertanggung jawab dalam proses penyelamatan dan penanganan para pengungsi, negara justru melemparkan tanggung jawab itu kepada masyarakat.

“Ketika pengungsi hadir, polisi menjadi salah satu orang yang harus dikabari. Jadi pemegang tanggung jawabnya ada di negara. Ini yang saya kira kosong dan kosong begitu lama,” tegasnya.

Aceh, sebagai wilayah pasca-konflik, memiliki sensitivitas tersendiri. Menurut Azharul, trauma masa lalu yang belum benar-benar pulih membuat masyarakat jadi mudah terprovokasi oleh narasi yang menyesatkan, terutama bila dikaitkan dengan isu-isu seperti pengungsi dan keamanan.

Oleh sebab itu, ia mendorong agar Pemerintah Aceh--dengan keistimewaannya-- agar berani mengambil langkah-langkah progresif. Azharul Husna berpendapat bahwa pengalaman menerima pengungsi di saat negara-negara tetangga lain menolak, bisa menjadi pijakan moral untuk kembali berperan aktif.

Terakhir, ia mengajak jurnalis dan pegiat HAM turut serta memberikan narasi yang benar kepada publik agar masyarakat tidak lagi menggunakan istilah-istilah diskriminatif.

“Memberikan informasi yang benar itu jadi tanggung jawab kita bersama. Karena dari nama itu kemudian martabat dibentuk. Jadi saya kira ini penting jadi tanggung jawab kita semua,” pungkasnya. [msr]

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
dpra