KontraS Aceh, Pertanyakan Kinerja Tim Penyelesaian Masalah Tempat Ibadah di Aceh Singkil
Font: Ukuran: - +
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Hendra Saputra. [Foto: ist]
DIALEKSIS.COM | Aceh Singkil - Polemik yang muncul usai viralnya foto salah satu gereja di Aceh Singkil baru-baru ini, dinilai sebagai dampak dari berlarut-larutnya upaya penyelesaian masalah pendirian tempat ibadah di daerah tersebut. Tanpa peran aktif pemerintah untuk menyelesaikannnya, isu ini akan terus jadi bola liar yang memicu sentimen di tengah-tengah publik. Sementara di sisi lain, ada persoalan substansial yang hingga kini masih menjadi momok, yakni terabaikannya hak warga negara untuk bisa menjalankan ibadah dengan aman dan nyaman.
Dalam hal ini, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh menyoroti kinerja Pemerintah Aceh. Pasalnya, pada November 2020 lalu Pemerintah Aceh bersama dengan Pemerintahan Aceh Singkil telah membentuk tim terpadu penyelesaian permasalah pendirian tempat ibadah di Aceh Singkil.
Tim ini dibentuk melalui Keputusan Gubernur Aceh Nomor 451.2/1573/2020, perihal Pembentukan Tim Pembinaan dan Pengawasan Penanganan Perselisihan Tempat Ibadah di Kabupaten Aceh Singkil. Tim ini mengemban beberapa tugas, salah satunya membangun kesepakatan dengan para pihak, menyusun kajian komprehensif terkait masalah ini, serta melakukan analisis alternatif solusi dan melakukan sosialisasi terhadap hasil kajian tersebut.
Namun hingga kini, keberadaan dan kinerja tim tersebut tak menunjukkan hasil yang memadai. Sementara, menurut KontraS Aceh, umat kristen di Aceh Singkil, perlu dipenuhi haknya dalam beribadah dengan aman dan nyaman sebagaimana diamanahkan dalam kontitusi Republik Indonesia.
"Jadi foto yang beredar beberapa hari yang lalu, harusnya dilihat sebagai situasi dampak dari lalainya pemerintah Aceh melalui tim terpadu dalam upaya mendorong penyelesaian kasus rumah ibadah, sehingga membiarkan hal ini terus berpolemik," ujar Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra, Jumat (16 Juli 2021).
Pihaknya juga memandang, seharusnya peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh sebagai koordinator tim lapangan dalam penyelesaian permasalah rumah ibadah di Aceh Singkil lebih terlihat dan bisa dirasakan oleh semua pihak. FKUB harus menjadi leading sector pertama dalam upaya mendorong penyelesaian kasus rumah ibadah di Aceh Singkil.
Hendra melanjutkan, FKUB harus mampu memfasilitasi pertemuan antar umat beragama, mendengar pendapat dari kedua pihak --baik muslim dan kristen, serta menengahinya dengan solusi terbaik. Peran tersebut harus dijalankan dengan netral, independen serta mengedepankan langkah mediasi antar pihak.
Untuk menyelesaikan masalah ini, KontraS Aceh menekankan pemerintah perlu menempuh jalur dialog, ketimbang pendekatan hukum semata. Menurut Hendra, pemberlakuan syarat pendirian tempat ibadah mengacu pada Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah, akan sangat sulit dipenuhi oleh umat kristen.
"Karena itu pendekatan dialog harus ditempuh sebagai jalan yang terbaik di antara kedua pihak, FKUB harus berperan aktif," ujar Hendra.
Pendekatan kemanusiaan harus lebih diutamakan. Bagaimana pun, setiap umat beragama butuh beribadah dengan nyaman. Pemerintah harus melihat ini sebagai bagian dari pemenuhan hak warga negara, jadi tak melulu soal pemenuhan aturan hukum.
"Orang menjalankan ibadah itu adalah hal yang baik, bagaimana mungkin harus dibatasi? Mereka butuh tempat. Pemerintah harus bijak melihat ini," pungkas Hendra.[]