DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh menggelar kegiatan Diseminasi Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan Evaluasi Qanun No. 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah pada Jumat (8/8/2025).
Riskika Lhena Darwin, anggota tim penyusunan DIM dari KontraS Aceh, menegaskan bahwa regulasi tersebut justru memperumit perizinan bagi kelompok agama minoritas, bahkan hingga saat ini tidak ada satu pun rumah ibadah non-Muslim yang berhasil mendapatkan izin sejak qanun diberlakukan.
“Qanun ini seharusnya menjamin keadilan untuk semua agama, tapi yang terjadi justru diskriminasi terselubung. Pasal-pasalnya menciptakan standar ganda yang hanya menguntungkan mayoritas, sementara minoritas harus melewati proses perizinan yang rumit dan nyaris mustahil,” kata Rizkika.
Qanun 4/2016 lahir setelah tragedi pembakaran gereja di Aceh Singkil pada Oktober 2015 yang menewaskan satu orang dan memaksa ratusan lainnya mengungsi. Regulasi ini dimaksudkan sebagai pedoman baru menggantikan Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007, dengan harapan mencegah konflik dan memberi kepastian hukum dalam pendirian tempat ibadah.
Namun, hasil evaluasi KontraS Aceh melalui tiga kali Focus Group Discussion (FGD) menemukan sederet persoalan mendasar yaitu pasal 19 mengecualikan pembangunan masjid dari syarat yang berlaku bagi rumah ibadah non-Muslim, menciptakan ketidaksetaraan hukum.
Selain itu, definisi istilah kunci seperti “kebutuhan nyata” dan “ketenteraman umum” tidak jelas, memicu multitafsir. Persyaratan dukungan KTP dari warga non-pengguna (minimal 110 orang) dinilai memberatkan tanpa dasar perhitungan yang jelas.
Dalam hal ini, Tidak adanya pengaturan izin sementara untuk tempat ibadah darurat, misalnya saat bencana. Mekanisme penyelesaian sengketa diatur secara umum tanpa prosedur dan lembaga peradilan yang jelas. Kurangnya integrasi prinsip inklusivitas, seperti akses bagi penyandang disabilitas, kebutuhan perempuan, dan standar teknis bangunan yang aman bencana.
Riskika menilai, masalah ini tidak hanya dialami oleh agama minoritas. Bahkan internal umat Islam pun pernah menghadapi penolakan pembangunan tempat ibadah, seperti kasus Masjid Muhammadiyah di Gampong Sangso, Bireuen, yang berlarut-larut karena ketiadaan aturan khusus.
Berdasarkan data Kementerian Agama tahun 2022, Aceh memiliki 4.408 masjid, 189 gereja Kristen, 20 gereja Katolik, 12 pura, 22 vihara, dan 25 klenteng. Jumlah gereja terbesar berada di Aceh Tenggara (140 unit), Aceh Singkil (20 unit), dan Banda Aceh (10 unit). Namun, sejak qanun diberlakukan, tidak ada gereja baru yang berhasil mengantongi izin resmi.
“Ini membuktikan bahwa aturan yang semestinya menjadi payung keadilan justru menjadi penghalang. Kita tidak bisa membiarkan hak konstitusional warga negara tereduksi hanya karena mereka minoritas,” tegas Riskika.
Melalui DIM yang disusun, KontraS Aceh mengajukan sejumlah rekomendasi krusial, antara lain merevisi Pasal 19 agar semua agama tunduk pada persyaratan yang sama. Memperjelas definisi istilah-istilah penting dalam qanun.
Ia mendorong penyederhanaan proses perizinan dan mengkaji ulang persyaratan dukungan warga. Mengintegrasikan prinsip inklusivitas dalam desain dan fungsi tempat ibadah.
Riskika menegaskan bahwa revisi qanun bukan sekadar teknis hukum, tetapi menyangkut penghormatan terhadap prinsip demokrasi yaitu mayority rules, minority rights.
“Mayoritas boleh membuat aturan, tapi harus menjamin hak minoritas. Kalau tidak, kita hanya menciptakan kerukunan semu yang mudah pecah sewaktu-waktu,” ujarnya.
KontraS Aceh berharap hasil DIM ini menjadi bahan resmi bagi Pemerintah Aceh dan DPRA untuk memulai proses revisi Qanun 4/2016.
"Perbaikan regulasi adalah langkah mendesak untuk memastikan Aceh benar-benar menjadi rumah bagi semua warganya, tanpa memandang keyakinan," pungkasnya. [nh]