Komplikasi Kebebasan Pers di Aceh, Kental Ancaman Kekerasan hingga Kerentanan Media
Font: Ukuran: - +
Reporter : akhyar
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh Juli Amin. [Foto: Ist]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh Juli Amin mengatakan, indeks kebebasan pers di era digital semakin meningkat.
Hal ini, kata dia, dikarenakan banyaknya media atau portal berita lintas platform yang bermunculan. Akan tetapi, lanjut dia, dengan semakin bertambah media, tantangan yang dihadapi para jurnalis pun semakin menajam.
Bahkan, ungkap dia, dalam rangka konsolidasi profesionalitas wartawan, pihak AJI Banda Aceh selalu mengadakan diskusi rutin dengan para jurnalis yang tergabung di AJI pada setiap bulannya.
Diskusi rutin ini, jelas dia, bertujuan untuk capacity building (peningkatan kapasitas) agar para wartawan bisa lepas dari bayang-bayang gelap ancaman kekerasan terhadap jurnalis.
"Persoalan hari ini, ketika ada media yang dalam tanda petik tidak menjalankan unsur kode etik jurnalistik. Media-media ini kan sangat rentan. Di sinilah kemudian kita selalu berupaya supaya bagaimana kita (jurnalis) bisa terhindar dari kerentanan itu," ujar Juli Amin kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Senin (1/11/2021).
Bicara soal kekerasan terhadap jurnalis, Juli Amin mengatakan, kasus kekerasan secara langsung yang dialami oleh jurnalis di Aceh masih tergolong minim.
Walau tergolong minim, Juli Amin menegaskan, kekerasan secara langsung cukup meninggalkan trauma yang begitu mendalam bagi pelaku jurnalisme di bumi Bungong Seulanga.
Ia mencontohkan seperti kasus dugaan pembakaran rumah yang dialami oleh wartawan senior Asnawi Luwi di tahun 2019. Belum lagi, kata dia, soal pengeroyokan wartawan yang terjadi di Aceh Barat.
Kekerasan seperti inilah yang menurut Juli Amin mengakibatkan pendisrupsian terhadap jaminan kebebasan pers di Aceh.
Berkenaan dengan kasus kekerasan tak langsung terhadap independensi wartawan, Juli Amin mengatakan kekerasan jenis ini ragam bentuknya. Mulai dari menghalang-halangi tugas jurnalisme para wartawan, hingga bentuk intervensi dari sebuah pemberitaan.
"Contoh seperti ini kan bagian dari kebebasan pers yang dikekang. Sehingga, tidak sesuai tupoksi kita (jurnalis), dari kehebatan jurnalis dengan landasan jurnalistik itu sendiri," ungkapnya.
Namun, Juli Amin juga tak memungkiri jika persoalan media pada hari ini agak sedikit terjadi komplikasi. Karena berdasarkan 4 kuadran media, jelas dia, ada media yang terdaftar dewan pers yang menjalankan jurnalistik, ada yang terdaftar dewan pers tapi tidak menjalankan jurnalistik.
Ada yang tidak terdaftar dewan pers tapi melakukan jurnalistik, serta ada yang tidak terdaftar dewan pers dan tidak melakukan karya jurnalistik.
Sementara itu, Juli Amin sangat menyayangkan jika ada penulisan seorang jurnalis namun tidak memenuhi kode etik jurnalistik. Karena mereka ini sangat rentan terlibat masalah.
Oleh karenanya, Juli Amin bersama punggawa jurnalis di AJI Banda Aceh berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan indeks kemerdekaan pers di tanah rencong.
Menurut Juli Amin, kiat meningkatkan kebebasan pers di Aceh kuncinya ada dalam diri setiap para jurnalis. Yaitu, bagaimana mengabarkan pemberitaan secara berimbang, tidak tendensius, tak beriktikad buruk, kroscek sebuah informasi termasuk data dan verifikasi narasumber.
Syarat inilah yang menurut Juli Amin perlu ditegakkan oleh setiap jurnalis yang ada di Aceh. [Akh]