Senin, 18 Agustus 2025
Beranda / Berita / Aceh / KKR Aceh Perkenalkan Laporan "Peulara Damee-Nurturing Peace" ke Dunia Internasional

KKR Aceh Perkenalkan Laporan "Peulara Damee-Nurturing Peace" ke Dunia Internasional

Minggu, 17 Agustus 2025 14:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKR Aceh) meluncurkan laporan temuan “Peularaa Damee - Nurturing Peace” versi bahasa Inggris, pada Kamis lalu (14/8/2025) di The Pade Hotel. Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Memperingati 20 tahun Perjanjian Damai Aceh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKR Aceh) meluncurkan laporan temuan “Peularaa Damee - Nurturing Peace” versi bahasa Inggris, pada Kamis lalu (14/8/2025) di The Pade Hotel. Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama KKR Aceh dengan Asia Justice And Rights (AJAR) dan KontraS Aceh.

Laporan ini, yang sebelumnya disahkan secara resmi dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada 2023, memuat temuan komprehensif tentang pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sepanjang konflik di Aceh, sekaligus merekam perjalanan panjang korban dalam mencari kebenaran, keadilan, dan pemulihan.

Peluncuran ini menjadi tonggak penting, tidak hanya sebagai bentuk akuntabilitas kepada masyarakat Aceh dan Indonesia, tetapi juga sebagai upaya membuka ruang dialog di tingkat internasional. Dengan tersedianya versi bahasa Inggris, laporan ini diharapkan dapat diakses luas oleh komunitas internasional, peneliti, pembuat kebijakan, serta lembaga internasional yang bergerak di bidang hak asasi manusia dan penyelesaian konflik.

Laporan “Peularaa Damee” memuat hasil pengumpulan 5.195 testimoni korban dan saksi, pendokumentasian empat kasus pelanggaran HAM berat, yakni Tragedi Simpang KKA, Rumoh Geudong, Jambo Keupok, dan Timang Gajah, serta temuan mengenai pola pelanggaran yang dialami kelompok rentan, termasuk perempuan dan anak.

Dalam laporan ini, KKR Aceh juga memberikan serangkaian rekomendasi yang mencakup reparasi, penegakan hukum, pengungkapan kebenaran, serta jaminan ketidakberulangan pelanggaran di masa depan.

Sekretaris Daerah Aceh, M Nasir, mewakili Gubernur Aceh dalam sambutannya mengapresiasi peluncuran laporan ini sebagai catatan sejarah penting tak hanya bagi Aceh, tapi juga pembelajaran berharga bagi dunia. Momentum ini jadi pengingat bahwa perdamaian Aceh yang telah bertahan selama 20 tahun--terlama dalam rangkaian sejarah parang di Aceh“ sebagai capaian yang sangat berharga.

“Momentum ini harus terus dijaga melalui upaya peacebuilding, pemulihan korban, dan pencegahan konflik agar tak terulang di masa depan,” kata Nasir.

Ia juga menegaskan bahwa keberlanjutan perdamaian memerlukan kolaborasi semua pihak. Peluncuran versi bahasa Inggris laporan Peulara Damee ini diharapkan memperluas akses dan ruang diplomasi Aceh di tingkat internasional.

“Pemerintah Aceh berkomitmen untuk menindaklanjuti rekomendasi KKR Aceh sebagai bagian dari agenda pembangunan yang inklusif, serta memastikan bahwa transisi keadilan menjadi landasan perdamaian berkelanjutan,” pungkasnya.

Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Kebenaran, Keadilan dan Reparasi, Bernard Duhaime pada bagian pembuka menyatakan pihaknya mengapresiasi kerja luar biasa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh, sebagai satu-satunya komisi kebenaran formal yang didirkan dalam kerangka keadilan transisi di Indonesia.

“Momentum ini merupakan jembatan menuju keterlibatan yang lebih dalam dalam transformasi komprehensif yang dibutuhkan oleh perdamaian yang berkelanjutan,” kata Bernard dalam sambutannya melalui daring.

Ia juga menekankan bahwa kesaksian yang tercatat dalam dan rekomendasi yang diuraikan mewakili penghormatan terhadap keberanian para korban maupun peta jalan untuk tindakan berkelanjutan. Dalam periode dialog konstruktif, komitmen bersama, dan solidaritas yang tak tergoyahkan dengan korban dan penyintas, ia berharap pertemuan hari ini menjadi produktif dan bermakna.

Ia juga secara khusus menekankan menekankan kontribusi luar biasa dari aktor masyarakat sipil, karena tanpa advokasi dan komitmen yang tak kenal lelah dari mereka, komisi ini tidak akan terwujud.

Pada sesi diskusi yang dimoderatori Regional Program Manager, Asia Justice And Rights (AJAR), Indria Fernida, Ketua KKR Aceh periode 2016-2021 Afridal Darmi, menyampaikan temuan dan rekomendasi dari laporan temuan KKR Aceh. Ia menggarisbawahi dimensi harapan dan kenyataan yang dihadapi korban. Peulara Damee tak hanya tentang catatan penderitaan, tetapi juga daya tahan korban mempertahankan memori mereka.

Afridal juga menekankan pentingnya melihat laporan ini sebagai bagian dari proses panjang membangun pondasi perdamaian yang berkeadilan. Saat MoU Helsinki disepakati, korban punya harapan besar terhadap mekanisme keadilan transisi yang dijanjikan. Namun, pelaksanaannya ternyata berjalan lambat.

Menurutnya, tantangan utama terletak pada political will pemerintah untuk menindaklanjuti rekomendasi secara konkret. 

 “Kita tidak bisa membiarkan laporan ini berhenti sebagai dokumen. Ia harus hidup di ruang publik, menjadi panduan bagi kebijakan, dan menjadi suara yang terus mengingatkan kita akan janji-janji perdamaian,” kata Afridal.

Berikutnya, Ketua KKR Aceh 2021-2026, Masthur Yahya, menekankan bahwa peluncuran versi bahasa Inggris ini merupakan langkah strategis untuk memastikan pesan dan pelajaran dari Aceh dapat menjangkau dunia.

Ia menguraikan capaian penting KKR Aceh dalam mengungkap kebenaran secara partisipatif, termasuk keberhasilan melibatkan korban secara langsung dalam proses pengambilan kesaksian dan verifikasi data. Masthur juga menyoroti kemajuan yang telah dicapai, seperti terbentuknya basis data korban yang kredibel dan pengakuan resmi negara melalui DPRA atas temuan KKR Aceh.

Soal tantangan implementasi rekomendasi dalam laporan tersebut, menurut Masthur, terkait dengan terbatasnya komitmen anggaran dan kebijakan dari pemerintah pusat maupun daerah untuk melaksanakan reparasi menyeluruh. Selain itu juga belum ada langkah konkret untuk memastikan jaminan ketidakberulangan.

“Laporan ini bukanlah penutup, melainkan pijakan untuk mendorong aksi nyata. Versi bahasa Inggris akan menjadi jembatan, menghubungkan pengalaman Aceh dengan gerakan global untuk keadilan dan perdamaian,” tegas Masthur.

Peluncuran ini dihadiri sekitar 100 orang dari instansi pemerintah, organisasi masyarakat sipil, akademisi, jurnalis, serta perwakilan komunitas internasional. Acara ini menjadi ajang refleksi kolektif atas perjalanan 20 tahun pasca-damai, sekaligus penegasan kembali komitmen semua pihak untuk menjaga perdamaian, menegakkan keadilan, dan memastikan bahwa pelanggaran HAM di Aceh tidak akan terulang.

Peluncuran laporan Peulara Damee - Nurturing Peace turut menghadirkan penanggap dari berbagai lembaga dan badan internasional. Mereka menegaskan bahwa keberhasilan perdamaian Aceh sangat bergantung pada integrasi pilar-pilar keadilan transisi. Mereka yaitu: 1) Penasihat Khusus Sekjen PBB, Mô Bleeker; 2) Mantan Komisioner KKR Thailand, Somchai Homlaor; 3) Mantan Pelapor Khusus PBB untuk IDPs, Atty. Cecilia Jimenez; 4) Mantan Komisioner Reparasi Sri Lanka, Sumithra Sellathamby; 5) Joaquim A. Fonseca dari Kelompok Kerja Rekonsiliasi, Centro Nacional Chega (CNC) Timor-Leste; 6) dan Pakar Keadilan Transisional Internasional, Patrick Burgess. []

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI