Kisah Anggota TNI yang Pernah Bertugas di Kompleks ExxonMobil
Font: Ukuran: - +
Pos Klaster V, pengamaman ExxonMobil, di Aceh Utara, yang masih ada sampai saat ini. (Foto: BBC Indonesia)
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Seorang anggota TNI di Aceh yang mengaku ditugaskan pada awal tahun 2000-an di seputar ladang gas Arun, yang dikelola ExxonMobil, bercerita menghadapi risiko nyawa melayang setiap saat karena "menjadi tameng dan pagar betis" untuk pengamanan di sepanjang jalur pipa perusahaan raksasa Amerika Serikat itu.
Kondisi Aceh pada akhir 1990-an dan awal 2000 memanas karena konflik antara Tentara Nasional Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, kelompok yang mengibarkan perang antara lain untuk menuntut pembagian sumber daya yang lebih adil.
Menurut Amnesty Internasional, jumlah korban warga sipil yang terjebak konflik dan meninggal selama tiga dekade konflik dari 1976 sampai 2005 mencapai antara 10.000 sampai 30.000 jiwa.
Sebanyak 11 warga desa yang ketika itu tinggal di seputar kompleks ExxonMobil, menggugat di pengadilan AS karena mengaku disiksa oleh tentara yang disewa ExxonMobil. Akhir Mei lalu, 11 warga tersebut mendapat ganti rugi yang tidak disebutkan jumlahnya.
Para pegiat HAM menyebut jumlah mereka sangat kecil tapi merupakan perkembangan sangat penting untuk mengangkat pertanggung jawaban kekerasan yang menimpa mereka.
Berdasarkan dokumen pengadilan di Washington DC yang menangani kasus Doe Vs ExxonMobil, disebutkan pada Februari 2001 bahwa jumlah tentara yang dikerahkan ke Aceh untuk menghadapi GAM berjumlah 5.000 personel.
Sekitar 1.000 di antara mereka dikontrak oleh ExxonMobil untuk mengamankan operasional ladang gas yang pernah disebut petinggi raksasa minyak dan gas itu sebagai "permata di mahkota perusahaan".
Sebagai serdadu dengan pangkat paling rendah, tentara yang pernah bertugas di seputar kompleks ExxonMobil itu menuturkan pengalaman dirinya saat menjadi bagian dari tameng dan dijadikan "pagar betis sepanjang tiga kilometer".
Walaupun 20 tahun lebih telah berlalu, keadaan saat itu masih melekat erat dalam ingatan Iman, bukan nama sebenarnya.
"Kondisinya mencekam sekali. Kami sebagai prajurit dari level paling bawah harus pasang pagar betis [berdiri bersampingan] sampai komandan lewat, karena waktu itu belum ada mobil baja," cerita Iman, kepada wartawan di Aceh, Hidayatullah yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Iman mengaku bahwa waktu itu dia hanyalah tameng karena memiliki pangkat paling rendah dalam tingkatan militer.
Setiap kali ada gangguan keamanan, menurut Iman, dia dan rekan-rekannya yang pertama diterjunkan karena mengemban tugas sebagai Personel Pengawal Taktis (Waltis).
"Regu kami ini kalau dibilang sebagai garda yang paling depan, atau bisa juga dibilang orang yang pertama datang kalau ada kekacauan, lansung berangkat begitu ada perintah, sekalipun tanpa persiapan logistik apapun," jelas Iman.
"Sebagai prajurit, kami tidak memiliki kesempatan untuk bertanya, ketika perintah datang, hanya jawaban 'siap' yang keluar dari mulut."
"Kalau kami diserang oleh lawan [GAM], itu kalau bisa kepala kami masukkan ke dalam tanah untuk berlindung, nyawa kami seperti di ujung tanduk karena tidak ada tempat berlindung. Setiap hari kami berpikir kapan mati," tambahnya.
Salah satu hari yang paling dia ingat adalah Sabtu, 10 Maret 2001.
Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) tempatnya bertugas, diserang oleh GAM dengan lemparan granat.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dalam dokumen Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa di Aceh (Rumoh Geudong dan Pos Sattis Lainnya), mengungkapkan bahwa semasa Daerah Operasi Militer (DOM), Pos Sattis dibentuk setidaknya di setiap kecamatan di empat sektor, yaitu Sektor A/Pidie, Sektor B/Aceh Utara, Sektor C/Aceh Timur, dan Sektor D/Aceh Tengah.
Pos Sattis disebut sebagai tempat penyekapan orang-orang yang diperiksa, tempat interogasi, tempat penyiksaan, dan tempat eksekusi. Menurut Komnas HAM, Kopassus TNI AD merupakan pelaksana lapangan di Pos Sattis di setiap sektor tersebut.
Iman bercerita saat serangan terjadi, "jarak penyerangannya hanya sekitar dua meter dari posisi pos, granat terbang dan peluru menghujani pos kami, kejadian ini adalah momen di mana salah satu pipa gas milik ExxonMobil rusak dan berhenti beroperasi."
Ia juga mengatakan saat ia bertugas kendaraan lapis baja belum ada dan para tentara yang bertugas ketika itu bermodalkan seragam, topi biasa, serta senjata M16 tipe A1 dengan kaliber 5,56 MM.
Hambatan lain yang sering ia rasakan, cerita Iman, selama bertugas di area kilang minyak dan gas milik ExxonMobil, adalah sulitnya membedakan antara masyarakat sipil dan anggota GAM.
"Karena bisa saja orang yang sebelumnya ditemui di warung kopi, tapi besok menjadi dalang penyerangan pos," jelas Iman.
Dalam kondisi panasnya konflik Aceh ini, para pegiat HAM menyebut puluhan ribu warga sipil banyak yang terperangkap dalam konflik.
Namun, tentara yang memburu GAM justru kesulitan untuk membedakan masyarakat biasa karena mereka "berbaur", kata pengamat dari Universitas Malikussaleh, Al Chaidar.
"Pihak TNI memiliki operasi intelijen, jadi seharusnya itu menjadi kekuatan untuk bisa membedakan yang mana masyarakat sipil dan yang mana GAM, tidak dengan melakukan tindakan - tindakan kekerasan untuk memperoleh pengakuan," kata Al Chaidar.
Sosiolog dan mantan Ketua Komnas HAM, Otto Syamsuddin Ishak, juga menyatakan hal senada.
"Memang menjadi problem bagi tentara konvensional yang sulit membaca apakah seseorang itu GAM atau masyarakat, sehingga adanya operasi intelijen. Kalau intelijennya TNI pandai, justru mereka seharusnya bisa membedakan," jelas Otto.
Namun Otto mengatakan dalam kondisi yang ia sebut perang gerilya, masyarakat sipil banyak yang membantu pihak GAM, karena "rasa ke Aceh-an". Ini, menurut Otto, terlihat ketika referĂȘndum Aceh pada 1999, dengan sekitar dua juta masyarakat berkumpul di satu tempat.
"Pihak GAM itu ada keluarga mereka, kerabat mereka dan sebagainya, dan dengan melihat kekejaman Operasi Militer, justru dengan sendirinya masyarakat akan berpihak kepada GAM," lanjut Otto.
Otto juga mengatakan operasi militer di Aceh adalah operasi intelijen sehingga tidak dilengkapi dengan perlengkapan tempur.
"Memang tidak ada penggunaan topi baja atau baju anti peluru, karena operasi intelijen memang untuk menghilangkan marwah atau shock therapy bagi masyarakat, makanya tidak ada kendaraan tempur seperti panser, tank dan lainnya," jelas Otto.
Otto mengatakan tentara yang disewa oleh ExxonMobil untuk pengamanan ladang gas ini menggunakan fasilitas yang disediakan oleh perusahaan tersebut.
"Pasca melakukan penyiksaan itu kan, mereka untuk menanam mayat-mayat korban itu, menggunakan alat-alat yang difasilitasi oleh ExxonMobil, seperti ekskavator, mobil dan lainnya," lanjut Otto.
"Saya melihat sendiri bagaimana kendaraan milik ExxonMobil yang digunakan TNI keluar masuk dari Pos Satis induk di Rancoeng, korban yang disiksa pada pos itu, jika meninggal maka mayatnya akan dibuang, jika selamat setelah dipukul sampai lembek maka akan dibawa ke Rumoh Geudong, atau dikembalikan ke kampung," tambah Otto.
Dokumen gugatan 11 warga Aceh di Pengadilan Distrik Washington DC juga menyebut tentara-tentara yang disewa menggunakan fasilitas perusahasan raksasa AS ini termasuk kendaraan.
Ganti rugi yang ditetapkan ExxonMobil untuk dibayar kepada 11 warga desa Aceh disebut sejumlah pakar HAM merupakan perkembangan penting bagi penegakan keadilan di Aceh, khususnya bagi korban dan keluarganya.
Penyelesaian finansial ini juga disebut sebagai peringatan bagi perusahaan-perusahaan besar agar lebih berhati-hati ke depannya.
Presiden Joko Widodo pada Januari lalu mengakui terdapat 12 pelanggaran HAM berat di Indonesia dan direncanakan akan mengumumkan langkah penyelesaian non-yudisial pada akhir Juni ini di Aceh.
Dari 12 pelanggaran HAM berat itu, tiga di antaranya adalah di Aceh, Jamboe Keupoek, Simpang KKA, Rumah Geudong dan Pos Satis.
Choirul Anam, yang bertugas sebagai komisioner HAM dari 2017-2022 dan anggota tim ad-hoc pelanggaran HAM berat menyebut peristiwa di Pos Satis, terjadi di seputar kompleks ladang gas Arun, termasuk pembakaran dan penyiksaan.
Bagi Iman, pengalaman bertugas juga menakutkan dan traumatis. Ia mengatakan pernah terperangkap dalam hutan ketika berpatroli ke desa-desa dan bertahan tiga hari tanpa persiapan logistik cukup.
"Usai apel pagi kami patroli rutin seperti biasa ke kampung sampai dengan tapal batas dengan hutan, tiba-tiba terperangkap kawanan GAM, karena secara jumlah sudah kalah, akhirnya kami mengendap dan bertahan. Sebab sudah tidak mungkin lagi untuk maju atau balik ke pos."
Malamnya kami harus tidur ditengah hutan, tali sepatu kiri dan kanan diikat ke teman yang ada disamping, untuk mengecek dan membangunkan teman agar jatah tidur dan berjaga secara bergilir dibagi selama 30 menit.
"Jaraknya sangat dekat, kami bisa melihat semua aktifitas GAM dengan jelas. Makanya tidak bisa lagi bersuara apalagi bergerak dan menyerang lebih dulu," ceritanya.
Kisah lain yang begitu membekas dalam ingatannya adalah ketika salah seorang sahabatnya meninggal karena terkena ranjau darat saat patroli malam.
"Waktu terkena bom itu, pada malam hari. Seseorang berteriak kalau ada teman yang terkena ledakan, dalam kondisi telinga yang masih berdengung dan semburan tanah sawah terbang ke berbagai arah, kami merayap mendekat ke lokasi ledakan,"
"Seorang sahabat sudah terbujur, saya masih ingat bagaimana wajahnya berlumur tanah liat, lalu saya memangkunya,"
"Dia bilang, aku merasa begitu dingin, aku tidak bisa merasakan kaki dan tangan, kalau tunangan ku nanti bertanya apa aku sudah meninggal, jangan kasih tahu dia, bilang saja saya masih patroli," Iman menirukan jawaban sahabatnya yang meninggal malam itu.
Selama bertugas, cerita Iman, mereka tak pernah tahu kapan akan diserang.
"Serangannya begitu rapat, ada anggota yang sedang mandi atau baru selesai mandi tanpa pakaian, semuanya berlarian mencari tembok untuk berlindung, hujan peluru dan pelontar bom juga tidak berhenti masuk ke batalyon,"
"Dari Handy Talkie (HT) kami juga dengar orang-orang GAM teriak bilang timbak, ka timbak si PAI, [tembak, tembak PAI], mungkin kontak tembak itu berlangsung selama satu jam," lanjut Iman, yang bertugas dari tahun 2000 sampai Desember 2004.
Kata PAI sering disebutkan oleh warga Aceh maupun GAM sebagai rujukan untuk tentara.
"Sampai ini saya masih merasakan trauma, saya memiliki sumpah untuk tidak pernah kembali ke wilayah Aceh Utara. Jika pun melewati kawasan cukup melintas saja dan tidak ingin berhenti, apalagi tinggal," kata Iman.
Ia mengatakan hanya bisa berharap konflik seperti yang ia alami tak akan pernah terjadi lagi.
Sumber: BBC Indonesia
- Pembiayaan Pasien Covid-19 Dialihkan kepada BPJS Kesehatan
- Meriahkan HUT Bhayangkara, 137 Atlet Ikuti Kejuaraan Tarung Derajat Piala Kapolres Aceh Besar
- Ketua Yara Aceh: Sampaikan Data Pelanggaran HAM ke Presiden Jokowi, Jangan Terjebak Simbol
- Kebakaran di Linge Aceh Tengah, Dua Hektare Hutan Pinus Ludes Dilalap Api