DIALEKSIS.COM | Takengon - Ketua Umum Persatuan Adat Suku Asal Kerajaan (PASAK) Opat Nenggeri Linge, Zam Zam Mubarak, menilai rancangan perubahan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang tengah dibahas Pemerintah Aceh dan DPRA sarat dengan diskriminasi. Ia menegaskan, pembahasan tersebut dilakukan tanpa mendengarkan aspirasi masyarakat hukum adat Gayo yang memiliki sejarah panjang dalam peradaban Aceh.
Menurut Zam Zam, perjalanan pelaksanaan UUPA selama ini belum mengakomodasi penguatan keistimewaan Aceh di bidang adat dan kelembagaan. “Yang tercantum hanya lembaga Wali Nanggroe, itupun sangat a historis karena tidak merepresentasikan seluruh entitas adat di Aceh,” tegasnya dalam keterangan tertulis diterima Dialeksis, Senin (13/10/2025).
Zam Zam menjelaskan, masyarakat hukum adat Gayo pada 25 Februari 2025 telah melakukan penobatan kembali Raja Linge. Langkah ini merupakan bagian dari rekonstruksi kelembagaan adat Kerajaan Linge kerajaan tertua di Aceh dengan dukungan penuh dari 20 mukim, Majelis Adat Gayo, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), serta melibatkan DPRK Aceh Tengah.
Ia menegaskan, secara historis, wilayah teritorial Kerajaan Linge dikenal dalam falsafah “Sebujur Acih Selintang Batak”, dengan sistem hukum adat yang terumus dalam 45 pasal dan telah diakui oleh pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1940.
“Namun keistimewaan Aceh hari ini sangat diskriminatif. Bahkan secara kasat mata telah terjadi penghilangan identitas kebudayaan tertua di Aceh. Sejarah peradaban tertua di tanah ini perlahan dihancurkan, baik atas nama pembangunan maupun kepentingan politik,” ujarnya.
Dalam situasi yang disebutnya “tragis”, Zam Zam menilai sudah sewajarnya pemerintah pusat mengakomodasi kelembagaan Reje Linge sebagai bagian integral dari sistem adat Aceh. Ia juga mendesak percepatan upaya penyelamatan cagar budaya strategis di kawasan adat Kerajaan Linge.
“Keberadaan Kerajaan Linge bukan sekadar simbol sejarah, tapi merupakan identitas bangsa dan aset negara dalam bingkai NKRI. Jika pemerintah terus mengabaikan eksistensinya, sama artinya dengan meniadakan akar kebudayaan Aceh itu sendiri,” kata Zam Zam.
Lebih lanjut, Ketua Umum PASAK Opat Nenggeri Linge itu menyatakan bahwa Pemerintah Aceh dan DPRA telah gagal mengartikulasikan makna keistimewaan Aceh secara utuh. Menurutnya, rancangan perubahan UUPA justru menunjukkan kecenderungan eksklusif dan tidak adil terhadap etnis lain di Aceh.
“Pemerintah Aceh dan DPRA telah gagal memahami keistimewaan Aceh secara menyeluruh. Mereka melupakan keberadaan Kerajaan Linge sebagai pemilik otoritas adat tertua di Aceh,” ucapnya.
Zam Zam menegaskan, jika aspirasi kelembagaan Kerajaan Linge tidak diakomodasi dalam pasal-pasal perubahan UUPA, pihaknya akan menempuh jalur hukum.
“Bila aspirasi kami tidak diakomodir dalam perubahan UUPA, maka kami siap menggugat undang-undang tersebut,” tegasnya.
Selanjutnya dirinya mengingatkan bahwa arah keistimewaan Aceh tidak boleh menjadi alat dominasi satu etnis terhadap etnis lainnya. Keistimewaan, katanya, harus bersifat inklusif dan mencerminkan keberagaman peradaban di seluruh wilayah Aceh, termasuk dataran tinggi Gayo yang memiliki peran besar dalam sejarah pembentukan Aceh.
“Arah keistimewaan Aceh harus diperjelas. Jangan hanya menjadi kepentingan kelompok tertentu dan mengabaikan etnis lainnya. Perubahan UUPA harus berkualitas dan menggambarkan peradaban Aceh masa depan, sekaligus memperkuat kedudukan Aceh di mata nasional dan internasional,” pungkasnya.