DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Relawan Aceh Peace (RAP) menyampaikan keprihatinan mendalam atas meninggalnya Arjuna Tamaraya (21), pemuda asal Simeulue, Aceh, yang dianiaya hingga tewas di Masjid Agung Sibolga, Sumatera Utara.
Kasus tragis yang memicu gelombang duka dan kemarahan publik itu, menurut Ketua RAP Muhammad Pitra Adha, M.Sc, tidak boleh dibiarkan bergeser dari motif utama dan pasal hukum yang tepat.
“Kami dari RAP turut menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas meninggalnya saudara Arjuna. Ini merupakan tindakan yang keterlaluan dan melebihi batas kemanusiaan dibandingkan perbuatan korban yang hanya beristirahat karena kehabisan uang,” ujar Muhammad Pitra Adha kepada Dialeksis.com, di Banda Aceh, Kamis (6/11/2025).
Ia menilai, penganiayaan yang berujung kematian tersebut sama sekali tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun.
Menurutnya, masyarakat seharusnya menegur dengan baik bila menemukan seseorang beristirahat di masjid, bukan malah melakukan kekerasan apalagi pengeroyokan hingga merenggut nyawa.
“Kalaupun tidak setuju, cukup laporkan ke pihak masjid yang berwenang. Bukan main hakim sendiri,” tegasnya.
Pitra Adha mengingatkan agar aparat penegak hukum tidak keliru dalam menjerat para pelaku dengan pasal ringan. Ia menegaskan pentingnya menegakkan hukum sesuai fakta bahwa korban telah kehilangan nyawa, sehingga tidak ada ruang bagi pelaku untuk mengelak dengan alasan atau alibi apapun.
“Jangan sampai ada penyelewengan dan pelarian motif atau pasal. Korbannya sudah meninggal, bukan luka ringan. Ini harus dikawal sampai mereka benar-benar dihukum di pengadilan,” tegasnya.
Ia menyoroti bahwa dalam beberapa kasus pembunuhan di Indonesia, ada kecenderungan pelaku lolos atau hanya dijerat pasal ringan karena pergeseran narasi dan alasan yang dibuat-buat. RAP, katanya, tidak ingin hal semacam itu terjadi lagi.
“Kita sudah sering melihat kasus pembunuhan yang akhirnya tidak berakhir adil. Diubah pasal, dicarikan alasan, atau seolah tidak ada niat membunuh. Padahal di sini jelas: korban beristirahat karena kehabisan uang, lalu dikeroyok dini hari. Ini bukan spontan, ada unsur perencanaan,” kata Pitra.
Ketua RAP menyerukan kepada masyarakat Aceh dan seluruh Indonesia untuk ikut mengawal proses hukum kasus ini sampai tuntas. Ia menilai publik tidak boleh lengah, sebab perhatian masyarakat sering kali meredup setelah kasus tak lagi menjadi sorotan media.
“Kalau kita diam, dikhawatirkan kejadian serupa akan terulang. Ini bukan hanya soal Arjuna, tapi juga soal citra Islam dan kesucian masjid sebagai tempat ibadah. Jangan sampai nama baik masjid tercoreng karena tindakan brutal segelintir orang,” ujarnya.
Pitra juga mengingatkan bahwa tragedi seperti ini bisa memunculkan stigma negatif terhadap umat Islam bila tidak ditangani secara tegas dan transparan.
“Masjid seharusnya jadi tempat berlindung, bukan tempat seseorang kehilangan nyawa,” tambahnya.
Sebagai langkah pencegahan, RAP mengusulkan agar para pengurus masjid di seluruh Indonesia mengedepankan pendekatan yang santun dalam menghadapi pengunjung.
Ia berharap kejadian di Sibolga menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk mengedepankan akhlak dalam menegur, bukan kekerasan.
“Usulan kami agar setiap pengurus masjid bersikap damai dan menegur dengan sopan kepada siapa pun yang beristirahat di area masjid. Jangan gunakan kekerasan, karena kekerasan tidak pernah sejalan dengan ajaran Islam,” pesan Pitra.
Ia mengajak umat Islam, khususnya masyarakat Aceh yang hidup dengan nilai-nilai syariat. Ia menegaskan bahwa cinta damai dan penghormatan terhadap sesama manusia adalah ruh Islam yang sejati.
“Kita sebagai bangsa Aceh dan umat Islam punya tanggung jawab besar menjaga nilai kemanusiaan dan kedamaian. Jangan biarkan masjid menjadi tempat lahirnya kekerasan, tapi tempat bersemainya kasih sayang dan kedamaian,” pungkasnya. [nh]