Ketua MPU Aceh: Sunat Perempuan Merupakan Ajaran Agama, Bukan Adat!
Font: Ukuran: - +
Reporter : fatur
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H Faisal atau akrab disapa Lem Faisal. [Foto: Ist]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Mariah Ulfah Anshor menyebutkan, bahwa praktik sunat perempuan merupakan bentuk pelanggaran HAM.
Dilansir dari Serambinews.com, Sabtu (2/10/2021), Mariah Ulfah mengungkapkan, tradisi dan deretan mitos menjadi alasan yang mendasari orang tua melakukan sunat atau khitan pada anak perempuan mereka.
Ia mengatakan, bahwa tradisi atau norma masyarakat yang masih bias gender yang berkaitan dengan sunut perempuan diantaranyam untuk menjaga dan membuktikan keperawan, kesucian terhadap perempuan.
Selain itu, Kata Mariah Ulfah, sunat perempuan merupakan ritual peralihan anak perempuan menjadi dewasa. Ia menyebutkan itu bagian dari mensucikan perempuan karena perempuan yang dilahirkan dengan klitoris dianggap kotor.
Kemudian, Kata Mariah, adanya juga sebuah keyakinan masyarakat turun temurun oleh orang tua dan keluarga mereka, bahwa sunat perempuan itu bagian yang diwajibkan dalam agama islam.
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H Faisal atau akrab disapa Lem Faisal mengatakan, bahwa sunat perempuan itu adalah ajaran Agama.
“Itu ajaran agama, jadi itu bukan Adat! sunat perempuan itu adalah bagian daripada sunnah yang didalam ajaran agama Islam. Makanya, sunat perempuan itu tidak melanggar HAM,” jelas Lem Faisal saat diwawancara Dialeksis.com, Sabtu (2/10/2021).
Lem Faisal menjelaskan, kenapa tidak melanggar HAM? Karena nilai-nilai HAM yang Universal itu tidak boleh mengintervensi keranah agama dan kearifan lokal.
“Itu yang harus dipahami,” tegasnya.
Menurutnya, Lem Faisal menjelaskan, Misalkan ada kearifan lokal disebuah daerah, yang memang kadang-kadang didaerah lain dimana itu tidak sesuai dengan ajaran Islam, tapi itu kearifan lokal.
“Jika kita melihat dari sudut pandang HAM itu tidak akan pernah bertentangan,” katanya.
Lebih lanjut, Ia menyampaikan, yang bertentangan itu, yang bukan nilai-nilai keagamaan dan bukan nilai-nilai kearifan lokal, dan disitulah HAM ditempatkan.
“Pelaksanaan cambuk dalam Islam, itu tidak melanggar HAM, itu merupakan ajaran dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan masing-masing,” tambahnya.
Menurut Lem Faisal, Komnas HAM (Komnas Perempuan) itu tidak paham, bahwa penerapan nilai-nilai HAM untuk konteks agama itu tidak tepat.
“Kecuali yang bersifat yang baru-baru, misalnya, ada sifat yang baru-baru yang dapat melanggar HAM, itu baru bisa diintervensi dengan nilai-nilai HAM, tapi kalau nilai agama itu, sebelum HAM itu ada, sudah ada duluan nilai agama,” ucapnya lagi.
Lem Faisal menjelaskan, yang dimaksud dengan kearifan lokal itu, adanya gerakan-gerakan yang bertentangan dengan HAM.
“Kalau di Aceh itu ada namanya ‘Top Debus’, itu pakai pisau menyayat tubuh-tubuh kita, nah, kalau kita lihat itukan tidak boleh. Jadi kalau kita baca norma-norma HAM itu, tidak akan bersinggungan, tidak akan masuk kepada hal-hal yang sifatnya menjalankan keyakinan dan keagamaan dan nilai-nilai kearifan lokal,” pungkasnya. [ftr]