Selasa, 14 Oktober 2025
Beranda / Berita / Aceh / Ketua IKAMBA Soroti Maraknya Praktik LGBT di Banda Aceh: “Jangan Diam, Kita Harus Bertindak”

Ketua IKAMBA Soroti Maraknya Praktik LGBT di Banda Aceh: “Jangan Diam, Kita Harus Bertindak”

Selasa, 14 Oktober 2025 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Ketua IKAMBA, M. Geubry Al Fattah Budian, atau yang akrab disapa Ryal, tidak bisa menutupi kegelisahannya karena dirinya mencermati perubahan perilaku sosial anak muda yang menurutnya mengarah pada krisis moral. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - M. Geubry Al Fattah Budian, atau yang akrab disapa Ryal, tidak bisa menutupi kegelisahannya. Dalam beberapa bulan terakhir, Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Banda Aceh (IKAMBA) itu mencermati perubahan perilaku sosial anak muda yang menurutnya mengarah pada krisis moral. 

Salah satu yang paling mencolok, kata dia, adalah maraknya praktik dan ekspresi LGBT di sejumlah wilayah Banda Aceh. “Fenomena ini makin meluas. Kita tidak bisa berpura-pura tidak tahu,” kata Ryal kepada Dialeksis saat dihubungi Selasa (14/10/2025).

Ia menyebutkan, perubahan gaya hidup anak muda Aceh kini semakin terpengaruh budaya digital yang bebas nilai. Di media sosial, menurutnya, sudah banyak akun atau komunitas yang secara terbuka menampilkan orientasi nonheteronormatif, bahkan diikuti ribuan pengguna muda Aceh.

“Ini bukan lagi isu global. Sudah ada di sekitar kita,” ujar Ryal.

Sebagai kota yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah, Banda Aceh memang memiliki aturan syariat yang ketat. Namun, Ryal menilai penerapan qanun belum menyentuh akar persoalan sosial. 

“Selama ini penegakan hukum hanya fokus pada tindakan, bukan pencegahan. Kita butuh strategi sosial yang lebih menyentuh anak muda,” katanya.

Menurut dia, lemahnya kontrol sosial dan absennya pendidikan moral yang adaptif di era digital menjadi celah suburnya penyimpangan perilaku.  “Kalau dulu pergaulan diukur dari lingkungan sekitar, kini ukurannya adalah layar ponsel,” ujar Ryal.

IKAMBA, kata dia, telah menerima sejumlah laporan dari masyarakat dan mahasiswa terkait perilaku yang dianggap menyimpang di tempat umum, hingga ruang privat kampus dan kos-kosan.

“Kami tidak ingin menstigma siapa pun, tapi fenomenanya nyata dan mengkhawatirkan,” katanya.

Ryal mendesak Pemerintah Kota Banda Aceh untuk tidak hanya mengandalkan razia dan hukuman moral. Ia menilai strategi penindakan tanpa pencegahan justru memperlebar jurang sosial. 

“Anak muda yang sudah terpapar jangan dijauhi. Mereka perlu ruang bimbingan, bukan sekadar vonis,” ujarnya.

Menurutnya, Dinas Syariat Islam dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) perlu memperkuat kerja sama dengan organisasi pemuda dan lembaga pendidikan. 

“Harus dibentuk satuan tugas pencegahan berbasis komunitas. Ini bisa melibatkan kampus, dayah, dan kelompok mahasiswa,” katanya.

Ryal juga menekankan pentingnya penguatan pendidikan karakter di sekolah dan kampus. Menurutnya, lembaga pendidikan di Aceh masih minim strategi penanganan perilaku sosial yang kompleks. 

“Bimbingan konseling kita masih konvensional. Harus ada modul tentang moralitas modern yang mengajarkan bagaimana menghadapi gempuran ideologi di media sosial,” ujarnya.

Dalam pandangan IKAMBA, fenomena LGBT tidak bisa semata-mata dijawab dengan pendekatan hukum atau agama. “Ini masalah sosial, psikologis, dan literasi digital,” ujar Ryal. Ia menyarankan pemerintah daerah membangun program edukasi moral berbasis komunitas yang melibatkan psikolog, pendidik, dan tokoh agama muda.

“Pemuda itu tidak bisa hanya diancam atau disuruh takut. Mereka harus diajak berpikir, diajak berdialog,” katanya.

Ia mencontohkan, IKAMBA kini tengah menyiapkan program “Gerakan Pemuda Fitrah”, yakni forum diskusi dan literasi moral bagi mahasiswa dan pelajar di Banda Aceh. Program ini akan menggandeng ulama muda, dosen, serta pegiat literasi digital untuk membahas isu moral dengan cara yang dialogis.

“Kita ingin menghadirkan ruang aman untuk belajar tentang nilai Islam yang mencerahkan, bukan menakut-nakuti,” ujarnya.

Ryal menegaskan, sikap IKAMBA tidak lahir dari kebencian terhadap kelompok tertentu, melainkan dari keprihatinan terhadap masa depan sosial Aceh. 

“Kami tidak ingin Aceh kehilangan arah identitasnya. Tapi kami juga tidak ingin anak muda yang tersesat malah diasingkan,” katanya.

Ia menyebut, jika fenomena ini dibiarkan tanpa pendekatan yang bijak, maka dampaknya akan merambah ke ranah sosial yang lebih luas: konflik nilai, disintegrasi moral, bahkan gangguan psikologis generasi muda.

“Serambi Mekkah harus memberi teladan, bukan sekadar larangan. Ulama dan pemerintah harus berjalan bersama, membimbing dengan kasih, bukan menghakimi,” ujar Ryal.

Sebagai penutup, Ryal menyerukan agar seluruh lapisan masyarakat memperkuat benteng moral dengan cara yang cerdas dan beradab. “Kita boleh berbeda, tapi jangan kehilangan arah. Syariat Islam harus jadi cahaya yang menuntun, bukan api yang membakar,” katanya.

Bagi Ryal, perjuangan menjaga Banda Aceh bukan soal menolak globalisasi, melainkan mengawal nilai-nilai yang menjadi fondasi identitasnya. 

“Banda Aceh harus tetap menjadi Serambi Mekkah bukan sekadar dalam simbol, tapi dalam nurani dan tindakan,” ujarnya. [arn]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI