Beranda / Berita / Aceh / Kesaktian Pancasila Luntur, Jika Tidak Diberi Makna Baru

Kesaktian Pancasila Luntur, Jika Tidak Diberi Makna Baru

Kamis, 30 September 2021 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Dr. Wiratmadinata, S.H., M.H. [Foto: Ist.]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dr. Wiratmadinata, S.H., M.H. mengatakan, bangsa Indonesia harus terus memberi makna kekinian terhadap nilai-nilai Pancasila agar momen kesaktian Pancasila dapat terus bernilai produktif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Pada momen sejarah di masa lalu, khususnya pada konteks peristiwa G.30.S/PKI, Pancasila, khususnya sila pertama, yaitu, Ketuhanan Yang Maha Esa, benar-benar menjadi landasan nilai kebangsaan utama yang masih segar dalam kesadaran bangsa Indonesia, sehingga komunisme benar-benar ditolak dan tidak mendapat tempat di Indonesia. 

“Tetapi pada saat ini, kesaktian Pancasila, sangat tergantung sejauh mana bangsa ini memberi nilai produktif bagi kehidupan sehari-hari,” kata ahli hukum Tata Negara jebolan USK ini, Kamis (30/9/2021).

Ia menjelaskan, nilai-nilai Pancasila semakin jauh dari cita-cita hukum (Rechtsidee) bangsa Indonesia. Misalnya dalam Undang-Undang Politik yang menganut sistim “one man, one vote”, yang secara langsung menegasikan asas “Musyawarah dan Mufakat” yang terdapat dalam sila keempat Pancasila, yaitu; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. 

Dan dalam praktiknya, kita juga sama-sama paham, dengan model pemungutan suara “one man one put”, terjadi liberalisasi dalam proses pemilihan pemimpin, terutama di tingkat desa, dimana pemilihan Kepala Desa pun sudah sangat liberal, tidak lagi merujuk pada “local wisdom”, dimana aspek keteladanan, hikmah, kebijaksanaan dan permusyawaratan menjadi dasar dalam seleksi kepemimpinan khas budaya Indonesia. 

“Itu hanya satu contoh yang paling sederhana saja,” kata akademisi yang akrab dipanggil Bang Wira ini.

Dilanjutkannya, ada banyak contoh lain, dimana produk-produk hukum di Indonesia, ternyata tidak lagi menjadikan Pancasila sebagai Paradigma. Secara umum paradigma hukum di Indonesia semakin hari semakin liberalis, individualis, dan tidak memberikan keadilan bagi rakyat miskin atau rentan. Salahsatu revolusi bidang hukum yang harus dilakukan di Indonesia adalah dengan menegaskan kembali pendekatan; Paradigma Negara Hukum Pancasila di Indonesia, agar kesaktian Pancasila bisa terus dipertahankan seiring dengan perjalanan sejarah bangsa ini. 

Model penyelenggaraan negara hukum Indonesia yang tidak lagi menempatkan Pancasila sebagai paradigmanya, akan membuat hukum semakin tidak adil, dan tidak relevan dengan kebutuhan warga bangsanya. 

“Seperti contoh diatas tadi,” kata Wira yang ditemui Dialeksis disela-sela kegiatan vaksinasi untuk Siswa sekolah di Banda Aceh, Kamis (30/9/2021).

Dikatakannya, mengapa Pancasila diberi gelar “Sakti”, secara historis karena ia telah melewati berbagai cobaan-cobaan politik, dan Pancasila berhasil memenangkan pertarungan ideologi di ranah politik kebangsaan. 

“Di Indonesia ini setidaknya sudah empat kali terjadi perubahan batang tubuh konstitusi, mulai dari UUD-1945, UUD RIS 1949, UUD-S 1950, dan kembali lagi ke UUD 1945 setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959, sampai empat tahap amandemen mulai 1999 sampai 2002, tapi tidak ada yang berhasil menjatuhkan Pancasila. Karena kita masih sepakat bahwa Pembukaan atau preambule UUD-1945 tidak boleh diubahm tapi Batang Tubuhnya boleh diamandemen,” papar Wiratmadinata, yang menulis Disertasi Tentang Paradigma Negara Hukum Pancasila.

Tetapi secara substantif, lanjut Dr. Wiratmadinata, Pancasila itu dimaknai Sakti, karena abastraksi nilai-nilai yang dirumuskan di dalam lima sila Pancasila memang relevan dengan kosmologi budaya dan kebatinan orang Indonesia. Misalnya terkait masalah Ketuhanan, bangsa ini memiliki latar budaya, agama, dan ras yang berbeda, tetapi inti kebudayaannya adalah “Teosentrisme” atau Ketuhanan, yang berpadu serasi dengan asas “kerakyatan” dan “Kekeluargaan”, sehingga setiap sendi budayanya, termasuk Budaya Hukumnya, berorientasi Ketuhanan sekaligus Kerakyatan. 

“Itulah sebabnya, komunisme tidak bisa hidup di Indonesia karena sifatnya antroposentris, sehingga punya kecenderungan mengasikan aspek transendental ketuhanan. Sementara dalam Budaya Indonesia, aspek Ketuhanan merupakan inti kehidupan komunitas,” kata Wira.

“Jadi intinya; Selama kita bisa memberi makna yang selaras antara nilai-nilai ketuhanan, kerakyataan, keadilan, persatuan, musyawarah dan mufakat, maka selama itu pula Pancasila akan tetap hidup dan sakti. Contohnya; produk perundang-undangan misalnya UU politik, UU Air, UU BUMN, dan UU lainnya yang berkarakter liberalis terus dipertahankan dan menciptakan ketidakadilan, maka nilai kesaktian Pancasila menjadi hampa, luntuk, tidak bermakna. “Disanalah letak pemaknaan baru Pancasila dalam negara yang lebih baik,” ujar Wira menutup pembicaraan. [*]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda